Teori Nilai Filsafat
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah
yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir
atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan
berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang
baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus
manusia diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan dengan nilai. Semua yang
dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Salah satu
kajian di dalam filsafat adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka
manusia akan berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau
muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah
kita menilainya karena benda itu bernilai?”. Oleh karena itu, dalam
makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai dimensi aksiologi.
A. Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”;
dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya
ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Dari
pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah,
yaitu:
Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari
analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status
epistimologis dari nilai-nilai itu.
Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat
nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga
macam cara, yaitu:
a. Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif.
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang
diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif
(positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap
nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan
perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b. Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak
terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal.
Menurut John Sinclair,
dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem
seperti politik, sosial, dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana
tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu
institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema
baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya muncul
pertama kali pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika, dan
estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang
memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan
kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang
demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan
sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan tentang
nilai yaitu sebagai berikut:
1. Nilai dalam bahasa Inggris value,
bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya, berlaku, kuat).
2. Nilai ditinjau dari segi Harkat adalah
kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,diinginkan, berguna,
atau dapat menjadi objek kepentingan.
3. Nilai ditinjau dari segi Keistimewaan
adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu
kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai
negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan
menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
4. Nilai ditinjau dari seudut Ilmu Ekonomi
yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama
kali mengunakan secara umum kata “nilai”.
Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:318), mengatakan bahwa
nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan kata baik, walaupun
fakta baiknya, bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika
(ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos
(teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa
disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang
menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right
and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba
merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti
apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai
kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya”
(ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
B. Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta.
Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap
apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana saja
pasti mempunyai nilai, maka nilai harus merupakan objek preferensi atau
penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius
Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber
nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau
perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels
(juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire).
Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang
memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut
kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme
aksiologis.
1. Persoalan Aksiologis
Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan
sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan
atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling
meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di
antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu,
dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat
persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan
teringat peribahasa latin yang sering diucapkan: “selera tidak dapat
diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis de
gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat
yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat
menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama
aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang
persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang
telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin
berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang
menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu
alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).
2. Nilai itu Obyektif
atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat
dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena
kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut
memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai
kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena
kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi
reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai
terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau
subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan
seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri
agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika
ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai
itu“subyektif” jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme
atau Realisme Aksiologi
Nilai,
norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada
pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu
obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki
makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi,
yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam
suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas.
Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan - ada dalam
dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau
hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga
pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu
dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang
terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato,
Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead,
Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.
b) Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini
mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke
dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau
situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai
memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan
teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan
sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat
direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan
pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme
aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume,
Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu
nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta
akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social.
Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan
keinginan atau harapan manusia.
3.
Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak
bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat
obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur
relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan
lain-lain.
4. Nominalisme
atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori
yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah
ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk yang semuanya tidak faktual. Ilmu
tentang nilai aksiologi adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan
yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual
diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan
tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard
membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan
asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna
secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu
subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain:
Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai
dan Kebaikan
Sebelum masa
Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan
tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut
dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas).
Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat
pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini
dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada
dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori
“idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau
lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada
(al-mawjud).
6. Nilai
dan Persepsi
Ciri khusus
dari persepsi-nilai tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai
terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal
manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya
hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai.
Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan
ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat
hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai
intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
C. Karakteristik dan Tingkatan
Nilai
Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan
dengan teori nilai, yaitu :
1. Nilai objektif
atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada
subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisik.
2. Nilai absolut atau
berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi,
apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau, serta akan
berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak
lain, ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan
atau harapan manusia.
Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan
dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1. Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap
tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada nilai non
spiritual (niai material).
2. Kaum Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan empiris
pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif,
hukum-hukum alam, dan aturan berfikir logis.
3. Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik
seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki
nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai
masyarakat.
D. Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita
bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
· Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang
berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam
bidang etika menyebutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti
kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis
tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Jadi,
etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang
perilaku manusia.
Filsafat
Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki
hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk
mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit
membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika
agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat
dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan
etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari
perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu
siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan
dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh
komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya
kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan
sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik
moral-pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan
dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan
tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar
yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.
b. Estetika dan Pendidikan
· Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan
pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan
seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa,
pola, bentuk dsb.
· Filsafat
Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat
pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada
“predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan
sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga
interpretasi tentang hakikat seni:
1. Seni sebagai
penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2. Seni sebagai alat
kesenangan.
3. Seni sebagai ekspresi yang
sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah nilai
estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni
dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan
Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan
masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya
menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).
E. Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma,
etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan
lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai
bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam
moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah
yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa
nilai mempunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga
bermacam-macam. Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu
adalah bahwa sesuatu itu harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai
(baik, benar, atau indah), mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan,
mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”
atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi
sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai
tertentu.
Filsafat
nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang
nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai secara filosofis,
mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri untuk
mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari
analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Disamping itu, aksiologi berhubungan dengan
etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun
obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau
buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga
dengan mengetahui nilai maka tercapailah ap
0 komentar