UPACARA GAREBEG DI KESULTANAN YOGYAKARTA

By 17.23

UPACARA GAREBEG DI KESULTANAN YOGYAKARTA MENCERMINKAN KONSISTENSI SIKAP RELIGIUS DAN MENGHARGAI NILAI-NILAI BUDAYA BANGSA
Garebeg adalah salah satu upacara kerajaan yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh Kraton Kesultanan Yogyakarta. Di dalam upacara garebeg banyak terangkum unsur-unsur kebudayaan lama Nusantara, seperti religi, bahasa, dan adat istiadat. Dalam upacara Garebeg ini pula dapat disaksikan wujud dari gagasan-gagasan dan alam pikiran religius leluhur. Berbagai ungkapan simbolis dalam Garebeg sesungguhnya banyak mengandung nilai-nilai sosial budaya yang sudah terbukti sangat bermanfaat untuk menjaga keseimbangan, keselarasan kehidupan masyarakat dari masa ke masa. Upacara gerebeg ini erat sekali kaitannya dengan sejarah perkembangan dan kehidupan beragama di tanah air serta sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Islam.
Pengertian Garebeg dan Jenis Garebeg
Dalam bahasa Jawa, kata garebeg, gerbeg atau grebeg, bermakna: suara angin menderu. Sedangkan hanggarebeg, mengandung makna mengiring raja, pembesar atau pengantin garebeg di Kesultanan Yog­yakarta dan di Kesunan Surakarta mempunyai makna khusus, yakni upacara kerajaan yang diselenggarakan untuk memperingati hari ke­lahiran Nabi Muhammad SAW, merayakan Idul fitri dan Idul adha.
Penyelenggaraan upacara gerebeg diadakan tiga kali dalam setiap tahun, yaitu dalam bentuk upacara: 1). Gerebeg Maulud; 2). Garebeg Puasa/Syawal; 3). Garebeg Besar.

Ketiga macam upacara garebeg tersebut sudah dilaksanakan oleh Sultan sejak tahun 1756. Apabila bertepatan dengan tahun Dai (setiap delapan tahun), diselenggarakan Gerebeg Mulud Dai.
  1. Garebeg Mulud. Garebeg Mulud diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang bertepatan de¬ngan tanggal 12 Rabiulawal. Bulan ini disebut juga bulan Mulud. Oleh sebab itu garebeg yang diselenggarakan dalam rangka hari kelahiran Nabi Muhammad SAW itu disebut Gerebeg Mulud. Tujuan merayakan dan memperingati hari lahir Nabi, selain untuk menghormati kehadirannya di dunia ini juga untuk memetik suritauladan dari kehidupan Rasullulah. Tradisi tersebut sudah dimulai sejak jaman Kesultanan Demak.
  2. Garebeg Puasa/Syawal. Upacara ini disebut Gerebeg Puasa karena diselenggarakan untuk menghormati bulan suci Ramadhan. Dalam bulan suci itulah umat Islam diwajibkan untuk memenuhi rukun Islam yang keempat, yaitu berpuasa sebulan penuh. Disamping itu Garebeg puasa juga dimaksudkan untuk menghormati malam kemuliaan atau Malam Lailatul Qadar yang diperkirakan terjadi antara tanggal 21 bulan Ramadhan sampai 29 bulan Ramadhan.
  3. Garebeg Besar. Upacara garebeg Besar dimaksudkan sebagai upacara untuk merayakan hari raya Iduladha yang terjadi di bulan Zulhijah. Iduladha disebut al'ied kabir yang berarti besar atau perayaan besar. Oleh sebab itu garebeg yang diselenggarakan juga disebut Garebeg Besar. Selain itu garebeg ini dimaksudkan juga untuk merayakan umat Islam yang baru saja kembali dari menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Pada kesempatan ini Sultan menyerahkan sejumlah hewan/ternak untuk kurban.
Tempat Upacara Garebeg
Rangkaian upacara biasanya dipusatkan di dua tempat, yaitu di Tratag Sitihinggil dan di Kompleks Mesjid Besar.
Tratag Sitihinggil adalah sebuah bangunan luas berbentuk segi empat memanjang dengan tiang-tiang tinggi tanpa dinding. Dahulu Tratag Sitihinggil beratapkan anyaman bambu dengan tiang-tiang bambu. Semasa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII, tiang-tiang bambu diganti dengan tiang besi dan atapnya diganti dengan atap seng.
Ambang pintu depan Mesjid Besar dipergunakan untuk upacara penerimaan sesaji selamatan negeri dan tempat untuk menyambut Sultan setiap kali berkunjung ke Mesjid Besar.

Serambi Mesjid Besar merupakan tempat kegiatan tempat kegiatan Sultan pada upacara religius yang disebut pasowanan mulud setiap kali ada Garebeg Mulud dan Garebeg Mulud Dai. Di tempat ini dibacakan riwayat hidup Rasulullah oleh Kyai Kanjeng Pengulu.
Alat Upacara dan Kelengkapannya
Pada waktu berlangsung upacara garebeg, salah satu kelengkapan upacara yang selalu diserbu oleh masyarakat adalah gunungan. Gu­nungan merupakan salah satu wujud sesaji selamatan (sajen wilu-jengan-Jw) yang khusus dibuat pada setiap upacara garebeg. Gunung­an terbuat dari berbagai jenis bahan makanan seperti nasi tumpeng, kacang panjang, wajik, telur asin, cabe merah, kelapa muda, pisang dan berbagai bahan makanan lainnya yang ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai kerucut atau gunungan.
Terdapat enam macam gunungan yang melengkapi upacara gare¬beg, yakni Gunungan Lanang, Gunungan Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Pawuhan, Gunungan Darat dan Gunungan Kutug/Bromo. Masing-masing gunungan mempunyai bentuk dan fungsi/maksud ter-tentu. Setiap gunungan ditempatkan di atas nampan besar berukuran 2 x 1/2 meter, diusung oleh sekitar 16 orang.
Perangkat lain adalah gamelan beserta Gendhing-gendhing yang khusus dipertunjukkan hanya pada upacara garebeg. Nama gamelan tersebut adalah Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo. Selain itu masih pula terdapat benda-benda upacara yang dapat digolongkan pada Benda Upacara Kerajaan, Benda Upacara Sultan dan Pusaka-pusaka Kerajaan. Semua benda-benda tersebut dipertunjukkan kepada masyarakat terkadang dalam bentuk pameran dalam Acara Sekaten.
Unsur lain yang tak kalah menariknya bagi masyarakat dan wisatawan dalam setiap acara garebeg adalah dengan diadakannya prosesi yang melibatkan Prajurit Keraton dan Polowijo Cebolan. Prajurit Keraton adalah angkatan bersenjata yang dimiliki oleh Kraton, lengkap dengan pakaian tradisionalnya. Mereka dikenal dengan berbagai sebutan menurut kesatuannya, seperti Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogyakarta, Nyutro, Daeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero dan Surokarso.

Polowijo atau Cebolan adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang cacad tubuh atau mempunyai kelainan fisik yang dipelihara oleh Keraton. Dalam perarahan garebeg, mereka ditempatkan beberapa langkah di belakang Putra Mahkota dan di depan para pembawa benda-benda upacara. Polowijo Cebolan ini merupakan lambang hidup dan kebajikan Sultan bahwa para kawula kerajaan yang cacad tubuhpun mendapat naungan kasih sayang Sultan dan mereka pun dapat mengabdikan dirinya kepada kerajaan
Demikianlah gambaran tentang upacara garebeg, tentang maksud dan tujuan dan berbagai kelengkapannya, yang telah membuktikan adanya konsistensi sikap relegius dan rasa menghargai nilai-nilai sosial budaya warisan nenek moyang yang sampai sekarang masih tetap berlangsung di Yogyakarta.

You Might Also Like

0 komentar