Dua Sayap Pendidikan
Dua Sayap Pendidikan
Di
berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang terjebak
korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Mereka juga memiliki
nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, latar belakang pendidikan
tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik sama sekali tidak menghalangi
mereka untuk mencuri dan merugikan orang lain.
Kecenderungan yang sama juga
sering kita temukan di kalangan pemuka agama. Mereka adalah orang-orang
yang dianggap bijak, karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi.
Namun, kerap kali, mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama.
Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga
kerap mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka
alami.
Kita juga sering mendengar berita
tentang perilaku bejat para manajer dan direktur perusahaan-perusahaan
besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis.
Mereka juga tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan
itu. Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan
yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa
pengetahuan yang luas tidak menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa
pengetahuan agama yang mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih
baik, melainkan justru menjadi lebih bejat dengan menggunakan
pembenaran-pembenaran palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini adalah cacat
di dalam paradigma pendidikan kita di Indonesia. Pendidikan kita tak
punya sayap. Di dalam tradisi Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat
sebagai kerja sama dari dua aspek yang tak terpisahkan, yakni
pengetahuan dan pengalaman. Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan
bisa mendorong orang tidak hanya untuk cerdas, tetapi juga terbang
menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh,
ketika kita mendengar ajaran dari orang lain. Kita juga bisa memperoleh
pengetahuan dari membaca buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa
meningkatkan mutu hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun,
pengetahuan semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak
antara diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita
rumuskan.
Yang lebih penting adalah
pengalaman. Pengalaman disini adalah persentuhan langsung dengan
kenyataan apa adanya, tanpa terlebih dahulu dihalangi oleh konsep. Pola
semacam ini dapat diperoleh, jika orang melakukan refleksi, yakni
melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, guna memahami jati diri sejatinya
sebagai manusia. Inilah kiranya yang kurang di dalam paradigma
pendidikan di Indonesia.
Pemahaman akan jati diri sejati
berarti orang bergerak melampaui segala bentuk pemahaman yang terkait
dengan identitas sosial. Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya
satu bagian kecil dari kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri
sejati, ditambah dengan pengetahuan yang luas, akan mendorong orang
masuk ke dalam kebijaksanaan.
Ketika pendidikan tidak bersayap,
ia justru akan menghasilkan manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan
hanya memiliki satu sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan
manusia-manusia yang cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada
pengetahuan, ia akan menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap
menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya
berfokus pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang
tidak terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang
pintar. Sudah banyak orang pintar di muka bumi ini. Yang kita butuhkan
adalah orang yang hidup dalam dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan
dan pengalaman. Buat apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas,
jika itu hanya digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam
kehidupan? Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya
kosong dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk
dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain?
0 komentar