FILSAFAT FENOMENOLOGI
FILSAFAT FENOMENOLOGI
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menjadi induk segala
pengetahuan. Filsafat merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide
mengenai keadaan yang murni dan realitas yang terjadi dalam hidup. Filsafat
juga dapat dijadikan paduan dalam kehidupan karena hal-hal yang berada di dalam
lingkupnya selalu menyangkut sesuatu yang mendasar dan membutuhkan penghayatan.
Filsafat digunakan untuk menentukan jalan yang akan diambil seseorang dalam
kehidupannya. Filsafat juga memberi petunjuk mengenai tata cara pergaulan
antara sesama. Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat adalah
bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau
yang telah ada bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena
berpikir adalah aktifitas individu dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk
berpikir. Berpikir secara mendalam untuk menghasilkan suatu ilmu pengetahuan
yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya. Dengan demikian dapat dikata
bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara mendalam berdasarkan
penalaran yang dimiliki seseorang. Dan akhirnya bisa melahirkan aliran
fenomenologi yang akan dipaparkan dalam makalah ini. Perlu kita ketahui sekilas
bahwa Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu
hermeneutik. Yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Keduanya
membicarakan manusia sebagai realita eksistensi ditentukan oleh kondis-kondisi
fisik dan budaya yang mempengaruhi. Fenomenologi dan herneneutika saling
bersentuhan, namun juga mempunyai perbedaan, kekuatan, dan kelemahan
masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Secara etimologis kata filsafat dalam bahasa Yunani adalah
philosophia, yaitu gabungan dari dua kata philia atau philen yang berarti cinta
atau mencintai dan sophos yang berarti kebijaksanaan. Sementara dalam bahasa
Inggris, filsafat berasal dari kata philosophy yang bisa diartikan
sebagai mencintai kebajikan.
Secara terminologis, dalam Kamus Filsafat (Loren Bagus,
1996:42) dijelaskan beberapa pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan
filosof, yaitu: Pertama, filsafat merupakan upaya spekulatif untuk menyajikan
suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang suatu realitas; Kedua,
merupakan upaya melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata;
Ketiga, filsafat merupakan upaya menentukan batas-batas dan jangkauan dari
pengetahuan baik itu tentang sumber, hakikat,, keabsahan, dan nilainya;
Keempat, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan; Keenam,
filsafat merupakan disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu melihat apa yang
dikatakan dan untuk mengatakan apa yang dilihat.
Endang Saifuddin Anshari (1987: 83) mengutip
pernyataan Al Farabi bahwa pengertian filsafat adalah ilmu tentang alam yang
maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Sedangkan Sumarno, Karimah, dan Damayani dalam buku Filsafat
dan Etika Komunikasi (2004: 13-14) pengertian filsafat dapat dibedakan menjadi:
1. Filsafat sebagai suatu sikap. Filsafat merupakan
sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.Bagaimana manusia yang berfilsafat
dalam menyikapi hidup dan alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu metoda. Berfilsafat artinya
berpikir secara reflektif, yakni berpikir dengan memerhatikan unsure di
belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai kumpulan persoalan. Befilsafat
artinya berusaha untuk memecahkan persoalan-persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan sistem pemikiran. Socrates,
Plato, atau Aristoteles merupakan tokoh filsafat yang menghasilkan sistem
pemikiran yang menjadi acuan dalam menjawab persoalan, sebagai metode, dan cara
bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan analisis logis. Filsafat berarti
berbicara tentang bahasa dan penjelasan makna-makna yang terkandung dalam kata
dan pengertian.Hampir setiap filsuf memakai metode analisis untuk menjelaskan
arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan suatu usaha memperoleh pandangan
secara menyeluruh. Filsafat mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari
berbagai macam ilmu serta pengalaman manusia menjadi suatu pandangan dunia yang
menyeluruh.
Sementara Muntasyir dan Munir (2002: 3) memberikan
klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau
pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti
formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil
bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang
konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa
serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini
dinamakan juga logosentris.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang
langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya
oleh ahli-ahli filsafat.
2.2 Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang
mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena.
Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik,
yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada fenomena ini. Istilah ini pertama
kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777),
seorang filsuf Jerman.Dalam
bukunya Neues Organon (1764).ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman
intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis,
sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman
dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan
filosofis ini.
Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari
kata ini timbul kata Pheinomenon berarti yang muncul dalam kesadaran
manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa setiap gambaran pikir dalam
pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan
niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah
aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan
dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran. Fenomenologi
merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti
yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau
pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat dalam diri kita
akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam
bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia
sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang
makna dan pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada
intinya, bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang
kita ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya
melalui hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita.
Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami
manusia.
2.3 Tokoh-tokoh Fenomenologi
1. Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut
Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat.
Sebagai metode, Husserl membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar
sampai pada fenomeno yang murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan
subjek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran
murni. Sedangkan sebagai filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang
perlu dan essensial tentang apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus
dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal
penting yaitu, penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche)
atau dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita
miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar
fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang
perlu diketahui. Diantaranya:
1. Fenomena adalah realitas
esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di
balik fenomena)
2. Pengamatan adalah aktivitas
spiritual atau rohani.
3. Kesadaran adalah sesuatu
yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4. Substansi adalah kongkret
yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha
untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau penyaringan yang
terdiri dari :
1. Reduksi fenomenologi, yaitu
harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam
wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda
itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
2. Reduksi eidetis, yaitu
dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan
eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3. Reduksi transcendental,
yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan
kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena
tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga
dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu
suatu peristiwa.
2. Max
Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan
cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan
hubungan langsung dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman
fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam
pengalaman filsafat. Diantaranya :
1. Fakta natural, yaitu
berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam
pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah, yaitu yang
mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
3. Fakta fenomenologis,
merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
3. Martin
Heidegger (1889-1976)
Menurut
Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang
untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki
kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan
segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu
merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu
bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger
menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang
konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana
hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan
observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang
bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang
sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui
hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati
diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau
kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak
orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.
4. Maurice Merlean-ponty
(1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof
benar-benar harus memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya
sendiri tentang realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim
yaitu :
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian
tentang apa yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas
sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah
yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui
benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan
lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang
essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan
Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan
tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam.
Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
2.4 Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi
Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan
dalam keseharian dalam suasana yang alamiah.Tradisi memandang manusia secara
aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami
lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan
lingkungannya.Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana individu
mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun
varian dari tradisi Fenomenologi ini adalah,:
1. Fenomena Klasik,
percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman,
artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau
obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi,
percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda –
beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan
lebih subyektif.
3. Fenomenologi
Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek
obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna
menarik suatu kesimpulan.
2.5 Prinsip Dasar Fenomenologi
Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:
· Pengetahuan
ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia
ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
· Makna
benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita
berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
· Bahasa
merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan
untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
2.6 Fenomenologi
Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang
berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode
yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti
penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori,
praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya:
“Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama
fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya
lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut
ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu
membutuhkan keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian
yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri
menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk
mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah
yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan
tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak,
tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil
dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat
2.7 Konstribusi
Fenomenologi Terhadap Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan
pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting
artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur
metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European
Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia
kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya ‘matematisasi alam’, alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal.[7]
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai
basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara
filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang
sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan
suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui
begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam
dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah
memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari
pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu
ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan
itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus
dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan
‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari
fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus
dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya
unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya
suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodelogisnya.
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Filsafat Fenomenologi
Kelebihan filsafat fenomenoligi diantaranya dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. fenomenologi sebagai suatu
metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak
memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
2. fenomenologi mengungkapkan
ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
3. fenomenologi memandang
objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik,
bukan pendekatanpartial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek
yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini sehingga banyak
dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan sosial, dalam berbagai
kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan fenomenologi untuk
mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan
suatu yang absurd.
2. Pengetahuan yang didapat
tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat
bahwa, hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui
pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya,
sesuatu yang terdapat dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang
kemudian diterima oleh akal ( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara
sistematis dengan jalan penalaran. Aliran fenomenologi mempunyai beberapa
tokoh-tokoh yang menjadi acuan dasar yang mengemukakan tentang aliran fenomenologi
tersebut. Diantara tokoh-tokohnya yaitu Edmund Husserl, max scheller, martin
Heidegger, dan Maurice merlea-ponty.
Fenomenologi pun tentulah tidak luput dari kekurangan dan
kelebihan yang menjadi fitrah dalam semua kehidupan. Fenomenologi sebagai ilmu
yaitu bahwa Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat segala sesuatu”.
Kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan
yaitu Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas
sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’
yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat; dari Masa klasik
hingga Postmodernisme. Yogyakarta . AR-RUZZ MEDIA.
Achmadi, Asmoro. 2010. Filsafat umum. Jakarta. PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA.
0 komentar