Filsafat Kontruktivisme “Membangun Konsep Berpikir Pada Peserta Didik”

By 07.12

Filsafat Kontruktivisme “Membangun Konsep Berpikir Pada Peserta Didik”





Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Rorty (dalam Von Glasersfeld, 1998) menilai kontruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme, terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya meningkatkan bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman atau fenomena baru. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan terpendam. Piaget menuliskan gagasan kontruktivisme dalam teori tentang perkembangan dalam teori perkembangan kognitif dan juga dalam epistemology genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya seperti suatu individu harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk melanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico.
Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap individu selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental. Cara belajar berfilsafat juga tidak bisa secara instan. Kita bisa berfilsafat dengan menggunakan pikiran kita yang disertai dengan pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman kita. Salah satu cara yang paling mudah untuk kita mendapatkan pengetahuan sebagai modal kita dalam berfilsafat adalah membaca. Nah, di dalam aliran filsafat kontruktivisme ini dijelaskan bagaimana cara kita untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya melalui pemikiran kita.
Dalam proses belajar dan mengajar di sekolah menurut falsafah atau teori konstruksionisme siswa dituntut harus aktif, kreatif dan berpikir kritis dalam proses pembelajaran. Konsekuensi utamanya guru sebelum memberikan materi pembelajaran harus mengetahui kemampuan awal siswa, jangan sampai siswa dalam belajar berawal dari pemahaman yang kosong, hal ini bertujuan agar ilmu yang diberikan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Salah satu kegagalan dalam proses pembelajaran disebabkan adanya ketidaktahuan atau memang kesengajaan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selalu melakukan menebak-nebak kemampuan siswa (terror psikologi dan terror sosiologi). Dan guru sering kali mengikuti perkembangan siswa, dengan melupakan kondisi dan latar belakang siswa.
Nah, untuk menciptakan peserta didik yang yang aktif, kreatif dan berpikir kritis dalam pembelajaran guru tidak hanya memberikan ilmu atau pengetahuan begitu saja kepada siswa. Karena pengetahuan itu sendiri tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan disuapi terus-menerus oleh guru dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Untuk mewujudkan hal itu peserta didik harus banyak belajar agar mendapatkan pengetahuan, pengetahuan yang kita dapatkan terjadi karena adanya proses belajar, dimana belajar itu sendiri menurut kaum konstruktivis (Suparno, 1997) merupakan suatu proses aktif siswa mengkonstruksi arti teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan suatu proses menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya atau pemahamanya tentang sesuatu dikembangkan. Peserta didik harus mendapatkan pengalaman berhipotesis dan memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban, berimajinasi, meneliti dan menemukan, dalam upaya mengembangkan pengetahuan baru.
Selanjutnya Sagala (2003) menyatakan bahwa Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan tiba-tiba. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Peserta didik harus membangun berpikirnya secara aktif dan guru berperan sebagai mediator yang baik.
Dalam konsep berpikir ini salah satu komponennya yaitu keterampilan intelektualnya yang ia dapat dari pengetahuan yang diberikan guru. Berpikir kritis itu sendiri merupakan suatu aktivitas kognitif yang menggunakan nalar. Nah, untuk mewujudkan peserta didik yang berpikir kritis ini peranan guru sangat diperlukan. Yaitu dengan memberikan suatu permasalahan dalam pembelajaran kemudian siswa dituntut untuk memecahakan masalah itu dan mencari solusi dari masalah itu dengan menggunakan nalar mereka. Dengan ini diharapkan peserta didik dapat menjadi siswa yang berpikir kritis. Dalam penerapan berpikir kritis pada siswa dilakukan dengan pola konstruktivisme diwujudkan dengan mengajak siswa secara aktif membangun konsep-konsep kognitif (pengetahuan). Guru tidak sekedar memberi, namun siswa mencari secara aktif, dan mengembangkannya. Satu contoh misalnya dalam pembelajaran sains. Siswa terlebih dahulu diajak untuk mengamati fenomena-fenomena alam yang ada seperti pelangi, banjir, merebaknya hama tanaman tertentu. Melalui fenomena yang ada, guru mengarahkan siswa untuk mencari penyebabnya. Siswa menemukan sendiri penyebab terjadinya pelangi, banjir ataukah hama. Pengetahuan tidak berhenti sampai di sini, pengetahuan siswa tentang penyebab terjadinya banjir, digunakan siswa untuk mencari solusi pencegahan banjir yang banyak terjadi. Penerapan solusi pencegahan banjir, memerlukan pengetahuan-pengetahuan yang baru, disinilah terlihat dinamika pengetahuan. Pengetahuan semakin berkembang pada diri siswa, dan dicari sendiri secara aktif oleh siswa. Pengetahuan baru ini juga menciptakan perbaikan, banjir berkurang. Dan pengetahuan baru jelas merupakan tindakan bermakna, sebab memberikan manfaat pada perbaikan lingkungan. Dengan ini siswa dapat memecahkan sebuah masalah yang mereka hadapi. Hal ini membuktikan bahwa siswa dapat berpikir kritis. Dan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada peserta didik diperlukan interaksi antara pendidik dengan peserta didik.
Pengertian kontruktivisme itu sendiri adalah kontruksi (membangun) artinya membangun pengetahuan dalam diri peserta didik. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia itu sendiri. Manusia mengkonstruksikan  pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan struktur, kategori, objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang tengah dihadapi. Lewat kontruktivisme ini memberikan manfaaat bagi peserta didik itu sendiri untuk dapat berpikir kritis dan memecahkan suatu masalah.
Aliran filsafat kontruktivisme memberikan pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan khususnya dalam meningkatkan perkembangan peserta didik. Pendidikan dengan pola konstruktivisme, akan menciptakan pengalaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong siswa untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemonstrasikan. Siswa yang kreatif, akan mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Tentunya ini akan berkaitan pula dengan kemampuannya menjawab soal-soal ujian akhirnya. Nilai ujian akan meningkat, siswa putus sekolah akan berkurang. Pembelajaran yang berorientasi pada permasalahan yang ada di lingkungan, dan selalu mengikuti perkembangan, akan memperluas pandangan siswa, sehingga pengetahuannya tidak terbatas pada apa yang didapat di kelas. Pengetahuannya berkembang sesuai tuntutan zaman dan perkembangan teknologi, sehingga pada saatnya nanti harus bekerja, aplikasi ilmunya sesuai dengan apa yang diperlukan saat itu. Lulusan sekolah siap bekerja, pengangguran akan berkurang.
Selain itu esensi aliran konstruktivisme dalam pendidikan adalah memberikan penekanan pada siswa untuk aktif mengembangkan pengetahannya, siswa harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya, dengan demikian siswa menjadi lebih aktif dan kreatif sehingga mampu berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Siswa yang kreatif akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal sebab mereka selalu berfikir, tak hanya menerima saja. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan. Seperti itulah sekilas aliran filsafat kontruktivisme dalam membangun konsep berpikir kritis pada peserta didik.

You Might Also Like

0 komentar