Filsafat Ekonomi
Filsafat Ekonomi
Refleksi
filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan
perjalanan sejarah hidup manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx
bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia adalah hubungan produksi1.
Akan tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru mengemuka
sejak aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18,
misalnya dalam karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume
(1752), dan paling berpengaruh adalah karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Pada masa- masa awal, ilmu ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga pembahasan filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral2.
Dalam konteks perkembangan ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek
filosofis ilmu ekonomi semakin kompleks dengan berkembangnya beragam
aliran pemikiran ekonomi3. Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodoxdan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian yang cukup banyak4. Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para ekonom maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu ekonomi.
Filsafat ilmu ekonomi meliputi pembahasan tentang aspek
konseptual, metodologi, dan etika yang berkaitan dengan disiplin ilmu
ekonomi (Hausman, 2008; Caldwell, 1993). Fokus utamanya adalah aspek
metodologi dan epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang
dibangun oleh para ekonom untuk sampai pada yang disebut “science”
tentang proses ekonomi. Filsafat ekonomi juga berkaitan dengan
bagaimana nilai-nilai etika menjadi bagian argumentasi dalam ilmu
ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara
pilihan-pilihan yang tersedia. Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka
adalah apakah dimensi filsafat ilmu ekonomi tersebut menghasilkan
pengetahuan empiris yang menjadi dasar teoritis ilmu ekonomi sehingga
dapat diklaim bahwa filsafat ekonomi adalah bagian integral dari
filsafat ilmu pengetahuan. Pembahasan tentang pertanyaan ini telah
berlangsung lama dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ekonom
dan filosof hingga saat ini.
Perdebatan tentang apakah filsafat ekonomi mengikuti pola
metodologis dan epistemologis seperti halnya dalam filsafat ilmu atau
memiliki pola tertentu yang terpisah sudah terjadi sejak abad ke 18, dan
menjadi lebih intensif di tahun 1970-an terutama ketika ideologi
Kuhnsian, Popperian, dan Lakatonian masuk dalam pembahasan tentang
ekonomi (Blaugh, 1992). Banyak yang mencoba menjelaskan perdebatan
tersebut dan hasilnya lebih condong kepada pandangan bahwa filsafat
ekonomi memiliki klaim yang kuat sebagai bagian dari filsafat ilmu
pengetahuan5. Sekalipun demikian, terdapat beberapa pandangan
minor yang tetap ‘menyangsikan” kesimpulan tersebut, dan memandang
bahwa pembahasan tentang filsafat ekonomi harus dilakukan secara
terpisah dari filsafat ilmu pengetahuan, misalnya Hutchison (2000).
Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan perdebatan tersebut dan
menguraikan tantangan yang dihadapi filsafat ilmu ekonomi dalam
mengokohkan klaim ‘scientific’ ilmu ekonomi dari perspektif
filsafat ilmu pengetahuan. Bagian pertama akan menjelaskan tentang
permasalahan metodologis dan epistemologis yang dihadapi ilmu ekonomi
dalam perspektif ilmu pengetahuan sebagai dasar pembahasan. Bagian kedua
adalah tinjauan literatur tentang filsafat ekonomi dan sejumlah
perdebatan yang terjadi di kalangan ekonom dan filosof terkait hubungan
antara filsafat ekonomi dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagian ketiga
adalah kesimpulan yang sekaligus juga menyajikan pandangan pribadi
penulis tentang keterkaitan filsafat ekonomi dan filsafat ilmu
pengetahuan.
Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Ilmu Ekonomi
Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan
baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak
dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu
memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat ilmu pengetahuan berkaitan
dengan pembahasan bagaimana disiplin ilmu tertentu menghasilkan
pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta pemahaman yang
melatarbelakangi suatu disiplin ilmu6. Dengan kata lain,
filsafat ilmu pengetahuan merupakan telaah secara filsafati yang ingin
menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat sains empirikal, seperti
(1) Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan
pengetahuan? Pertanyaan – pertanyaan ini disebut landasan ontologis,
(2) Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran
itu? Apa kriterianya? Cara/ teknik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini
disebut landasan epistemologis, (3) Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah
berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/profesional? pertanyaan-pertanyaan ini adalah landasan
aksiologis. Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan merupakan
cabang filsafat yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, pengetahuan, metode-metode ilmiah, serta sikap etis yang
harus dikembangkan oleh para ilmuwan, yang berfungsi sebagai sarana
pengujian penalaran sains; merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan
metode keilmuan; serta memberikan landasan logis terhadap metode
keilmuan (Judistira, 2006; Salmonet. al., 1992; dan www.wikipedia.org).
Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat
ilmu pengetahuan berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi memiliki klaim
kuat sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek
metodologis dan epistemologis yang menghasilkan pengetahuan empiris.
Aspek kritis yang menjadi perdebatan tentang hal tersebut adalah terkait
dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu ekonomi. Secara umum,
terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait dengan aspek
metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):
Pertama, positive versus normative economics.
Eksistensi pertimbangan normatif dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan
metodologis dari perpektif ilmu pengetahuan yang bersifat positivisme.
Sebagian besar ekonom mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan
melakukan pembahasan ilmu ekonomi dalam bentuk positive science untuk
menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak kalangan menilai
bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan cenderung lemah
karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan
atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif (Mongin, 2006;
Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969; Marwel and Ames, 1981;
Frank et al, 1993; Marx, 1867).
Kedua, reasons versus causes. Teori ekonomi
mengasumsikan bahwa individu bertindak rasional dan melakukan
pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan ini
menjadi justifikasi mengapa seseorang melakukan pilihan tertentu, dan
alasan tersebut harus dimengerti oleh individu yang bersangkutan. Asumsi
ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya kemungkinan bahwa
individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang disebabkan oleh
kondisi tertentu sehingga tidak bertindak berdasarkan alasan rasional.
Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi bahwa mereka
memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan
dengan pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya
kondisi ini tidak pernah terjadi, dan hal tersebut menjelaskan mengapa
ilmu ekonomi tidak parallel atau berbeda dengan ilmu alam (Buchanan and
Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).
Ketiga, Social Scientific Naturalism. Dari semua
ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah yang paling mirip dengan ilmu alam.
Pandangan untuk membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam umumnya
terkait dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah ada perbedaan
fundamental antara struktur dan konsep dalam hal teori dan penjelasan
pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait denganreasons versus causes seperti
telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada perbedaan fundamental dalam
tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam? Sejumlah kalangan menyatakan
bahwa ilmu ekonomi memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan mengapa
suatu fenomena terjadi sehingga menciptakan adanya pengertian dan respon
terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini mengakibatkan adanya unsur
subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam, (3) Pentingnya
pilihan manusia (atau mungkin free will), menimbulkan pertanyaan
apakah fenomena sosial terlalu tidak teratur sehingga sulit digambarkan
dalam suatu kerangka hukum dan teori? Dengan karakter manusia yang
bersifat free will, mungkin perilaku manusia sulit diprediksi.
Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak perilaku manusia yang menunjukkan
keteraturan, disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga
terjadi pada ilmu alam yang memiliki banyak ketidakteraturan dalam
hubungan kausal.
Keempat, Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics.
Dalam perspektif ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan
pertanyaan terkait dengan adanya abstraksi, idealiasasi, dan klaim
kebenaran teori yang ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan
mengemuka, tentang seberapa banyak simplikasi, idealisasi, dan abtraksi
dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi asumsiceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut telah menjadi perdebatan metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari ilmu ekonomi.
Kelima, Causation in economics and econometrics.
Generalisasi dalam ilmu ekonomi didasarkan pada hubungan kausal,
misalkan tentang hukum permintaan. Hubungan kausal ini juga dapat
diidentifikasi dengan ekonometrika. Akan tetapi, terdapat kemungkinan
adanya pertentangan analisis hubungan kausal antara yang dihasilkan oleh
perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan keseimbangan
ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang hubungan
kausal mana yang akan dipilih.
Keenam, Structure and strategy of economics.
Perdebatan aspek metodologis terkait dengan aspek ini adalah masuknya
filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan Lakatonian (Lakatos, 1970) dalam
pembahasan tentang ekonomi.
Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut telah menimbulkan banyak perdebatan tentang klaim “scientific”
ilmu ekonomi dalam hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu pengetahuan
menghasilkan generalisasi yang salah? Jika klaim tersebut tidak dapat
digeneralisasi secara universal, apa dasar logis yang mendasarinya?
Bagaimana mengetahui klaim yang dihasilkan dari proses tersebut salah
atau bagaimana pengujian yang harus dilakukan sehingga klaim tersebut
dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi
topik intensif yang terus mengemuka hingga saat ini.
Filsafat Ilmu Ekonomi: Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan Epistemologis serta Membuktikan Klaim “Scientific” Ilmu Ekonomi
Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan,
sejumlah ekonom telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis
tersebut untuk menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era
Nassau Senior dan John Stuart Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel
Robbins di tahun 1930-an, terdapat konsepsi dominan di kalangan para
ekonom bahwa premis atau postulat yang di kemudian hari lebih populer
disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang sebagai sesuatu
kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam aktivitas
ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak
kelemahan terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak
selalu didukung oleh bukti empiris karena sebagaimana yang diungkapkan
oleh Mill bahwa secara abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar jika
faktor pengganggu lainnya diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor
penganggu tersebut selalu ada dan memberikan pengaruh terhadap hubungan
kausal yang terjadi. Akibatnya, konfirmasi terhadap teori ekonomi
condong pada bahwa premis tersebut benar dibandingkan dengan memeriksa
implikasi prediksi teori tersebut terhadap bukti empiris. Selanjutnya
berkembang pendekatan lain, misalnya yang dilakukan ilmuwan Jerman dan
Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad ke-20), yang
berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak selalu
mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan
generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan
yang diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan
tidak menemukan titik temu (Hausman, 2008).
Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung
implikasi prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau
kutub yang mengusung tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori
oleh Machlup (1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa
asumsi-asumsi yang mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang
terpenting adalah kemampuan dari implikasi model tersebut dalam
memprediksi kenyataan. Selama lebih dari dua dekade, pandangan Friedman
banyak mendominasi tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi.
Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun
1970-an, ketika filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam
pembahasan tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode
induksi dan memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian
tersebut memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau
bagaimana teori ekonomi dapat menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang mensyaratkan bahwa formulasi teori harus logically falsifiable dantestable, menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap sebagian besar bahkan seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan
asumsi-asumsi yang sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi
(Marchi, 1988; Caldwell, 1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya
diatasi oleh Imre Lakatos (1970) yang kemudian dikenal dengan
Lakatonian, yang memperkenalkan konsep theoretically progressive. Lakatos menekankan pada appraising historical series of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising theories.
Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan
aspek metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian.
Sekalipun demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan
penjelasan yang memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk
menyatakan klaim tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.
Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi
memunculkan sejumlah pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu
ekonomi memang tidak dapat melewati persoalan metodologis tersebut.
Pelopor pandangan ini adalah Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan
bahwa ilmu ekonomi hanya dapat menghasilkan prediksi umum yang tidak
tepat, dan tidak dapat menghasilkan perubahan. Lebih lanjut, menurut
Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai matematika terapan bukan
sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki dasar argumentatif
mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan sebagaimana yang
dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak kalangan menilai bahwa
klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi kuantitatif
cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan
para ekonom kontemporer yang dapat memprediksi harga saham lebih baik
dibandingkan dengan para ekonom di masa lalu. Pandangan radikal lainnya
yang berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre McCloskey’s (1994) yang
menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar
metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang
relevan untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh ilmu
ekonomi adalah apa yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu
ekonomi dapat mengabaikan standar metodologis yang dikemukakan oleh para
filosof. Pandangan ini dikenal dengan istilah ekonomi retoris. Banyak
karya berharga dan berpengaruh yang dihasilkan oleh McCloskey’s dengan
pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi masalah yang dihadapi adalah
kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-argumentasi dalam studi
tersebut karena tidak memiliki standar epistemologis.
Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi adalah realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang
berkembang yaitu (1) Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki
(2007), yang mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan
metodologis dan bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2)
Pandangan realisme yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy
Bhaskar (1978) yang menyatakan bahwa seseorang yang menelusuri
kekurangan yang terdapat dalam ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan
ontologi. Menurut Lawson, fenomena ekonomi yang sebenarnya banyak
dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan seseorang dapat mencapai
pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan kecenderungan yang
berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.
Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek
kritik dari aspek sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya
dikemukakan oleh Karl Marx yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut
Marx, ekonomi klasik memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan
kebijakan ekonomi-nya sehingga akan selalu memunculkan kritik yang
takkan pernah berakhir. Pengaruh ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya
yang dihadapkan pada kesulitan metodologis dalam ilmu ekonomi telah
memunculkan pandangan untuk merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan
refleksi metodologis dari perpektif sosiologis. Pelopor pandangan ini
antara lain D. Wade Hands (2001), Hands and Mirowski (1998), Philip
Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991). Sekalipun demikian,
seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan perdebatan.
Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu
ekonomi adalah penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu
ekonomi, yang antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981),
dan Balzer and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah
pandangan terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam
menafsirkan dan menilai teori ekonomi. Selama tidak ada konsensus
terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, maka ketika praktisi
ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah mereka yang memiliki
memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan ekonomi dapat
menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut pandangan ini
mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih banyak
memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.
Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah
penggunaan pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi
pendekatan tersebut dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori
ekonomi dan bukti empiris. Akan tetapi, sejumlah kalangan masih
menyangsikan apakah pendekatan eksperimental dapat digeneralisasi dalam
konteks non-eksperimental, termasuk kemungkinan apakah pendekatan
eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005; Kagel and Roth, 2008).
Normative Economics
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan
berpendapat bahwa sulit memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan
membedakan aspek positivisme dan aspek normatif karena selama teori
ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau masyarakat, maka
pasti mengandung aspek normatif. Kondisi ini membawa konsekuensi pada
perlunya pemahaman tentang pembahasan ekonomi normatif yang berkaitan
dengan bagaimana nilai-nilai etika dan moral menjadi bagian argumentasi
dalam membangun ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan
adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia.
Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan
secara intrinsik hal-hal apa yang baik bagi manusia. Pembahasan topik
ini mendapatkan tempat yang utama mengingat pandangan moral menempatkan
kesejahteraan manusia sebagai sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga
berlaku pada pandangan utilitarian maupun non utilitarian yang memiliki
tujuan memaksimumkan kepuasan individu. Dalam konteks ini, ekonomi
positif dapat dipertemukan dengan ekonomi normatif dengan menyamakan
kesejahteraan dalam ekonomi normatif dengan kepuasan preferensi dalam
ekonomi positif. Akan tetapi, terdapat sejumlah kalangan yang keberatan
tentang kesamaan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi. Menurut
pandangan ini, kepuasan preferensi dapat didasari oleh suatu keyakinan
yang keliru dari pengalaman masa lalu atau distorsi psikologis sehingga
sulit melakukan perbandingan kesejahteraan antar individu. Selain itu,
menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi berarti menempatkan
kesejahteraan individu tertentu berdasarkan preferensi individu lain,
sementara kesejahteraan cenderung pada suatu konsensus kolektif tertentu
yang disepakati. Diantara ekonom yang mendukung kesamaan antara
kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya Sen (1992).
Sekalipun demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan
preferensi bukan proksi empiris yang baik untuk menggambarkan
kesejahteraan, walaupun mereka beranggapan bahwa kesejahteraan dapat
mencerminkan kepuasan preferensi.
Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi.
Konsepsi ini memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam
hubungannya dengan kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi
kesejahteraan, yaitu first fundamental theorem of welfare economics menyatakan
bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum
(alokasi sumber daya yang efisien) dalam pasar yang sempurna. Teorema
ini merepresentasikan konsepsi Adam Smith tentanginvisible hand. Dalam kenyataannya, pasar yang sempurna tidak pernah terjadi atau terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlahsecond fundamental theorem of welfare economicsyang
menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium
yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai
melalui lumpsum transfer. Eksistensi dua teorema telah menjadi bahan perdebatan dalam menentukan apakah akan menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-faire)
atau kalaupun adan intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi
tersebut. Pembahasan lainnya terkait dengan efisiensi adalah analisis
biaya dan manfaat yang sering digunakan sebagai instrument praktis dalam
analisis kebijakan (Adler and Posner, 2006).
Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi
ekonomi normatif, para ekonom tidak hanya memfokukan pada pembahasan
tersebut. Melalui kolaborasi dengan para filosof, ekonom normatif telah
menghasilkan sejumlah kontribusi penting dalam karya kontemporer di
bidang etika dan filsafat normatif dalam ilmu sosial dan politik.
Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan teori permainan. Selain itu,
ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan karakteristik formal
tentang kebebasan yang menunjang analisis ekonomi. Sebagian lainnya juga
berhasil mengembangkan karakterisasi formal tentang kesetaraan sumber
daya, kesempatan, dan outcome serta telah menganalisis kondisi yang
memungkinkan memisahkan tanggung jawab individu dan sosial terhadap
kesenjangan. Beberapa ekonom lainnya yang juga banyak memberikan
kontribusi penting adalah Roemer, Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman,
2008). Singkatnya, ada interaksi yang intensif antara ekonomi normatif
dan filsafat moral.
Kesimpulan
Filsafat ilmu ekonomi berkaitan dengan pembahasan yang
menjelaskan landasan yang mendasari konsepsi, metodologi, serta etika
dalam disiplin ilmu ekonomi. Oleh karenanya, filsafat ekonomi merupakan
bagian tak terpisahkan dari filsafat ilmu pengetahuan yang membahas
bagaimana disiplin ilmu tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan
penjelasan dan prediksi, serta pemahaman yang melatarbelakangi suatu
disiplin ilmu. Sekalipun demikian, terdapat beragam perdebatan yang
sangat intensif dan terus berkembang dalam upaya mengokohkan filsafat
ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan khususnya terkait
dengan aspek metodologis, rasionalitas, etika dan aspek normatif yang
terdapat dalam ilmu ekonomi. Telaah yang lebih mendalam dalam
aspek-aspek ini sangat diperlukan dalam mengokohkan klaim “scientific” ilmu ekonomi di masa mendatang.
0 komentar