Filosofi Semur
Semur sebagai salah satu varian kulinari Nusantara, bukan sekedar memiliki kekayaan dari segi rasa.
Santapan khas yang menggunakan paduan bumbu rempah-rempah dan kecap
manis serta bahan lain seperti daging ayam, sapi atau ikan ini ternyata
memiliki nilai filosofi dan sejarah didalamnya.
"Semur ada di penjuru Indonesia dengan nama yang berbeda tapi tetap satu
jenis. Yang membedakan hanya bahan pelengkapnya saja. Selain tersebar,
ada nilai-nilai yang terkandung dari jenis masakan ini," ujar Agus
Nugraha selaku Senior Brand Manager Bango saat ditemui usai diskusi mengenai masakan Semur di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/3).
"Semur juga memiliki kandungan nilai filosofi dan sejarah. Beberapa
diantaranya yang sudah kita kumpulkan datanya ada Andilan, semur khas
Betawi, Malbi, semur khas Palembang dan Rabeg, semur khas Banten.
Ketiganya ini memiliki nilai-nilai filosofi dan sejarah yang menjadi
identitas bagi bangsa Indonesia," imbuhnya.
Andilan, semur khas Betawi adalah jenis semur yang disajikan khusus
untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Sebelumnya, para warga
mengumpulkan dana untuk membeli seekor kerbau, yang nantinya kerbau
tersebut akan dirawat dan dibesarkan oleh orang-orang di lingkungan yang
mengadakan pengumpulan dana tersebut. Setelah cukup besar, kerbau akan
disembelih dan dimasak bersama-sama oleh warga sekitar untuk menyajikan
makanan khas saat Idul Fitri.
"Dari sini terlihat bahwa ada nilai filosofi yang dalam, yaitu nilai
kebersamaan dan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat Betawi,"
kata Agus.
Hampir serupa dengan Andilan, Malbi yang merupakan semur khas Palembang
juga memiliki nilai filosofi berupa unsur doa dan harapan didalamnya.
"Semur Malbi dimasak dan disajikan dengan nasi kuning untuk merayakan
kebahagiaan di hari raya Idul Fitri. Warna kuning disini merupakan
perlambangan dari kesejahteraan dan kekayaan, jadi bisa dijadikan sebuah
lambang harapan yang baik," papar Agus.
Lain dengan Andilan dan Malbi, Semur khas Banten yang bernama Rabeg
memiliki nilai sejarah di dalamnya. Diceritakan bahwa saat masa
kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin, beliau dihidangkan sebuah
masakan khas daerah Rabiq di dataran Arab berupa jeroan Kambing.
Saat itu Sultan Maulana merasa masakan tersebut sangat lezat, hingga
saat ia kembali ke Banten, beliau memerintahkan juru masaknya untuk
membuat masakan serupa.
Namun karena bahan dan racikan yang dimiliki juru masak Sultan Maulana
berbeda, maka diciptakanlah sebuah jenis masakan serupa namun
menggunakan resep khas Nusantara yang akhirnya disebut dengan Semur
Rabeg. Nama Rabeg sendiri diambil dari kata Rabiq, tempat asal Sultan
Maulana mencicipi hidangan khas berupa sajian jeroan Kambing tersebut.
"Dari cerita tersebut bisa kita lihat bahwa ada nilai histori dari jenis
masakan Semur Rabeg di Banten. Jadi jelas bahwa selain memiliki
kekayaan dalam rasa, Semur juga memiliki nilai-nilai kebudayaan,
termasuk didalamnya nilai filosofi dan histori," pungkas Agus.
0 komentar