Sejarah Filsafat Pragmatisme
Sejarah Filsafat Pragmatisme
SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma
dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action.
Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang
merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat
pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan. Aliran ini
pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini
melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce
(1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang
juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931).
William James mengatakan bahwa secara ringkas
prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S.
Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa
akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat
pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah
keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur
kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis
penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan
pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi
logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa,
maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain
mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan dianggap benar, jika ide atau
tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang dapat membawa manusia
ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil). Seseorang yang ingin membuat
hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang
sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff, 1992:130).
Segala sesuatu dianggap benar jika ada
konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan
memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan
belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah fakta, maka hadapilah
kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
William James mengatakan bahwa secara ringkas
prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. untuk mengukur
kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis
penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan
pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi
logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa,
maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia
pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format
pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah
diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran
Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi
terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan
perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan
berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan
bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme
dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek,
melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain
adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki
insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme
mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia
berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari
sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk
menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan
pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang
menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa
mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang
berkembang menjadi sarana keberhasilan.
B. Metafisika
Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang
berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan
sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat
yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran
untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism
agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme
adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip,
serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan
pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa
mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang
didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang
bersifat sistematis. Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai
upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern.
Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat
mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika
tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang
bersifat absolute dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris.
Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka
berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology
pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan
itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang
tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat
diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima
kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan
satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah mereka alami akan
berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling kuat dari pragmatism adalah
kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme
lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik.
Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan
kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran
yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu
menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu
dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui
haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified
dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula
kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai
oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis
kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu
yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang
ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir
menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar
valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali
mesti dilupakan.
C.
Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia
pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format
pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah
diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran
Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi
terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan
perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan
berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan
bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme
dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek,
melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain
adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki
insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme
mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia
berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari
sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk
menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan
pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang
menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini
kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa
mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang
berkembang menjadi sarana keberhasilan .
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak
belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan
merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih
bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru
hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini
berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih
berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh,
2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut,
yaitu:
1.
Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan
pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
2.
Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan
suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk
tumbuh.
3.
Kurikulum, kurikulum pendidikan
pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat
dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru
menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
4.
Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode
aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan
masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan
(inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini
membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang
pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap
siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.
5.
Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
0 komentar