Filsafat Pendidikan Naturalisme Teori Implikasi dan Aplikasinya

By 22.38



FILSAFAT PENDIDIKAN NATURALISME TEORI, IMPLIKASI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Abstract: 
Students in our school have been came from multicultural backgrounds, languages indeed capacities. These diversities inform that every person is different and has many kind of potential talents. By that reason known that, every different person needs different education.

Different education needs different philosophical thought, either in building its vision, mission, formulating its aims, and in all its processes. It is important because education is concerned with what man may become. So education has peculiar need of guidepost to direct its activities. For this guidepost, it has to go to philosophy. 
Naturalism is one of philosophical thoughts in education that sees the education processes and nature must be in harmony. It is important that all educational activities in accordance with the growth and development of nature.

According to the Islamic educational perspective, all creations in the universe can be tools of learning or learning resources. From these creations the learners are able to take many examples, lessons and hikmah biside these Allah's creations. These are many verses of the holy Al-Qur'an ask all believes to observe the world and its contents in order to understand their place between many other creations. 
Key words : Naturalisme, Teori, Implikasi, dan Aplikasi 

A. Pengantar 
Jhon S. Brubacher, seorang Professor di bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat dalam bukunya "A History of the Problems of Education" menyebutkan bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dahulu kala telah memiliki keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoalan-persoalan filsafat.

Banyak hal yang menyebabkan persoalan pendidikan memiliki keterikatan dengan filsafat. Salah satunya adalah pendidikan selalu berusaha membentuk kepribadian manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang setelah pendidikan itu berlangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya menjangkau kawasan paling ideal dan baik seperti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun 2003), dewasa (Langevel), atau insan kamil (Atiyah al-Abrasy). Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam, sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal, tetapi memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.

Selain persoalan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis. Dari sini juga kemudian lahir aliran-aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan. Salah satu di antara beberapa aliran filsafat pendidikan tersebut adalah Naturalisme.

Apa saja pemikiran filsafat Naturalisme di bidang pendidikan? Lantas Bagaimana mengpalikasikan pemikiran filsafat Naturalisme tersebut dalam pendidikan Islam? Dua pertanyaan ini layak dialamatkan kepada aliran filsafat pendidikan ini.

B. Percikan Pemikiran Naturalisme 
Aliran filsafat pendidikan Naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. Ia berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oleh tiga aliran besar yaitu Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme merupakan penganut Naturalisme. Imam Barnadib menyebutkan bahwa Realisme merupakan anak dari Naturalisme. Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.

Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama kali memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670).

Sebagai pendeta Protestan sekaligus paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.

Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan hukum-hukum alam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut : 
Segalanya berkembang dari alam
Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara bertahap.
Alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan persiapan.
Dalam bukunya yang berjudul Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar, 
"If we wish to find a remedy for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it. Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature."6)

Dalam proses pendidikan, seperti pendahulunya Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam.

Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga.

Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabila pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan hendaknya mengikuti pola tadarruj (bertahap) sesuai dengan perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.

Perkembangan yang tertjadi di alam merupakan cermin bagi manusia untuk bertafakur dan bertadabbur. Tidak pernah terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. 
Thomas Armstrong barangkali merupakan pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran dengan cara bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own Way : Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelleigences Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang inging dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecil di dalam hutan. Sejak awal para binatang besar bingung menentukan materi ajar terpenting yang akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya disepakati bahwa semua binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang diberlakukan, yaitu; berlari, berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh keceriaan dan menyenangkan.

Namun pada hari-hari berikutnya persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiyah dan jago dalam berlari harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci tenggelam. Malu bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada akhirnya Kelincipun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.

Problem yang sama dialami juga oleh binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti materi pelajaran menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh binatang besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus mengulang materi pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang menonjol.

Semakin hari sekolah tersebut bukan menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.

Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik.

Baik Comenius maupun pendahulunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut. 

Sedang Comenius menasehatkan kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara bersama-sama. (Thing and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar).

Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke (1632-1704) dalam buku Essay Concerning Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra.

Kesimpulan lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan, misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran menulis, demikian selanjutnya.

Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu lahir dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah, kemampuan-kemampuan logik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak (peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.

Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.

J. H. Pastolozzi seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi agama. Dengan demikian tujuan pendiddikan adalah memimpin anak menjadi orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah "Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).

Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta. Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang sangat monomental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan fikiran-fikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang pendidikan wanita dan kesusilaan.

C. Implikasi Naturalisme di Bidang Pendidikan 
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.

Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.

Bobbi De Porter juga yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super Camp. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.

Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.

Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.

Filsuf Confucius memperkenalkan bahwa belajar akan lebih efektif manakala para siswa melihat, mendengar, merasa, mengalami, dan memperaktikkan secara langsung apa yang mereka pelajari. What I hear, I forget, What I see, I remember, and What I do, I understand, tulis Confucius.

Saat ini konsep back to nature tidak saja dikembangkan dalam pendidikan, tetapi juga dikembangkan dalam dunia kedokteran. Orang mulai melirik obat-obatan yang disediakan oleh alam, karena obat-obatan yang dihasilkan oleh dunia farmasi dan kini beredar terbukti memiliki side effect yang lain bagi kesehatan manusia. Barangkali inilah salah satu implikasi dari filsafat Naturalisme di luar bidang pendidikan saat ini.

D. Aplikasi Naturalisme dalam Pendidikan Islam 
Al-Qur'an berulang kali menyuruh bertafakur dan bertadabbur mengambil hikmah dari penciptaan makhluk-makhluk yang ada di jagad raya (universe) ini. Melalui tafakur dan tadabur terhadap ciptaan Tuhan di jagad raya, manusia akan mengenal tempatnya dengan baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Pengenalan terhadap posisi manusia di antara makhluk-makhluk-Nya ini yang oleh Muhammad Fadil al-Jammali dimasukkan sebagai salah satu tujuan pendidikan dalam Islam.

Bertafakur dan bertadabbur terhadap ciptaan Allah, memerlukan perangkat atau sarana yang tidak lain adalah akal dan hati. Akal ini merupakan salah satu dari pemikiran Natulalistik sebagai sarana yang harus dikembangkan. Seorang siswa akan lebih mudah memahami sesuatu objek, jika sebelumnya siswa tersebut dilibatkan dalam kegiatan observasi terhadap objek yang akan dipahami atau dipelajari. Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara langsung face to face terhadap sesuatu yang akan dipelajari.

Pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di atas dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, yaitu dengan cara memberikan keleluasaan kepada siswa mengobservasi dan mengeksploirasi ciptaan Allah di alam semesta. Tunjukkan kepada siswa aneka ragam ciptaan yang ada, termasuk manusia sebagai ciptaan dan sesudah itu guru memberikan penjelasan yang lengkap sesuai dengan tingkat perkembangan para siswa, sehingga mereka dapat merasakan secara nyata dan memahami dengan benar apa yang mereka pelajari. Model belajar seperti inilah yang oleh pengikut filsafat pendidikan Naturalisme dikategorikan sebagai kegiatan belajar melalui sense atau panca indra.

Ada dua asal usul ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, yaitu pengetahuan eksternal dan potensi bawaan. Pengetahuan eksternal ialah pengetahuan yang sampai pada pemikiran atau akal dari alam luar. Pengetahuan eksternal ini merupakan gambaran alam yang menembus akal melalui panca indra (sense) dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan ke¬jadian alamiah. Cara memperolehnya yaitu melalui panca indra dan akal. Al-Qur'an mengemukakan secara jelas bahwa pengetahuan eksternal tidak akan sam¬pai sebelum adanya kelahiran, seperti disebutkan dalam surah an Nahl (16) ayat 78 sebagai berikut: 
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal), agar kamu bersyukur.

Dalam perspektif Al-Qur'an, alam diciptakan untuk manusia dan salah satu misi diciptakannya manusia adalah untuk mengelola dan memakmurkan alam dengan sebaik-baiknya. Bagaimana mungkin manusia dapat mengelola dan memakmurkannya tanpa mempelajari alam tersebut?

Tugas mengelola dan memakmurkan alam merupakan bagian dari bentuk pengabdian manusia sebagai khalifah kepada penciptanya. Agar dapat mengelola dan memakmurkan alam, manusia perlu mengalami proses pendidikan, di mana alam telah menyediakan beragam fasilitas untuk kepentingan pendidikan ini.

Apa saja yang disediakan alam dapat difungsikan sebagai materi ajar atau sumber belajar sekaligus sebagai media pembelajaran. Dalam surah Ali Imran (3) ayat 190 - 191 Allah berfirman: 
Artinya : Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan perbedaan malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau sedang berbaring dan memikirkan penciptaan langit dan bumi."

Langit, bumi, siang dan malam disebut sebagai tanda-tanda atau ayat-ayatNya. Begitu juga apa saja yang ada di alam merupakan tanda-tanda akan kekuasaan dan adanya Allah. Untuk mengenal Allah sebagai pemilik alam, jalan yang paling dekat adalah dengan mempelajari tanda-tanda Allah di alam tersebut. 
Studi terhadap ciptaan Tuhan sebagai ayat Kauniyah yang bertebaran di jagat raya, sama halnya dengan kewajiban mempelajari ayat-ayat Qauliyah Tuhan, yaitu Al-Qur'an. Melalui kedua ayat tersebut Allah mendidik manusia agar memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana ilustrasi berikut: 
Syekh Makarim al-Syirazi dalam tafsir al-Amtsal ketika menafsirkan kalimat rabbul 'alamin mengatakan bahwa rububiyatullah thariqun li ma'rifatillah. Salah satu jalan untuk mengenal Allah adalah dengan memperhatikan (mempelajari) bagaimana Allah menciptakan dan memelihara alam semesta.14) Allah mendidik manusia agar mempelajari bagaimana Allah menciptakan dan memelihara makhluk-makhlukNya yang bertebaran di jagat raya ini.

Studi terhadap makhluk-makhluk Allah di jagat raya (universe) ini telah terbukti mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Dalam konteks aliran filsafat pendidikan Naturalisme, pengenalan siswa secara langsung terhadap alam dengan berbagai bentuknya, akan melahirkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap obyek yang dipelajari dibandingkan dengan membaca buku di dalam kelas.

Al-Qur'an melalui ayat-ayatnya menyuruh manusia agar memperhatikan jagat raya ini beserta apa saja yang dikandungnya. Perhatikan misalnya dalam surah-surah berikut: 
Artinya : Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. 
Artinya : Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?16) 
Perintah seperti di atas diungkap dalam Al-Qur'an melalui berbagai macam istilah agar manusia melakukan aktivitas bertafakur dan bertadabur. 
Tafakkara, berpikir, terdapat dalam 15 ayat lebih, antara lain dalam surah ar Rum (30) ayat 8, sebagai berikut: artinya : Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya
Tadabbara, merenungkan, seperti dalam surah Muhammad (47) ayat 24. Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Nażara, melihat yang dalam Al-Qur'an disebutkan lebih dari 30, antara lain adalah: Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (17) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (20)
Selain tiga ungkapan di atas, juga terdapat beberapa istilah yang juga mengandung pengertian agar manusia memperhatikan ciptaan Allah di jagat raya ini seperti faqiha, Tażakkara, fahima, aqala, ulū al bāb, ulū al ΄ilmi, ulū al nuhā, dan ulū al abșār.

Pengenalan secara langsung terhadap alam sebagai obyek studi seperti percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, karena secara sangat jelas Al-Qur'an berulang kali menyuruh untuk itu.

Meskipun demikian harus diakui juga bahwasanya mengandalkan kekuatan panca indra semata dalam pembelajaran, tidak dibenarkan dalam pendidikan Islam, karena Al-Qur'an juga mementingkan kecerdasan akal. Bahkan Al-Qur'an menggambarkan mereka yang mengagungkan panca indra, tanpa menyertakan akal dalam memahami fenomena alam, bagaikan hewan.

Selain pengembangan akal dengan observasi, dalam percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme, juga terdapat sisi lain yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan Islam, yaitu bahwa pendidikan itu bisa berasal dari alam, manusia dan barang.

Dalam Islam pendidikan juga dapat berasal dari alam dan barang, yaitu dengan jalan bertafakkur dan bertadabbur disamping juga dapat berasal dari manusia melalui proses pewarisan nilai dan ilmu pengetahuan.

E. Kesimpulan 
Empat percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme, yaitu: 
Pertama urgensi kesesuaian proses pendidikan dengan tahap-tahap perkembangan alam. 
Kedua belajar merupakan kegiatan melalui indra. 
Ketiga urgensi pemahaman akan sesuatu melalui observasi di alam. Keempat pendidikan dapat bersal dari alam, barang dan manusia.
Keempat percikan pemikiran tersebut memiliki ekuivalensi dengan anjuran kitab suci Al-Qur'an kepada para pembacanya untuk menyelidiki jagat raya sebagai ciptaan Tuhan.
Penyelidikan terhadap ciptaan tersebut dapat mengantarkan kepada pengenalan Allah sebagai Yang Maha Pencipta. Inilah makna dari rububiyatullah thariqun li ma'rifatillah.

DAFTAR PUSTAKA 
Al-Qur'an al-Karim
Bobbi De Porter, Mike Hernacki, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa, 2000.
George R. Knight, 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Michigan : Andrew University Press.
Imam Barnadib, 1997, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta : Andi Offest
Jalaluddin Rakhmat, 2000, Meraih Cinta Ilahi : Pencerahan Sufistik, Bandung : PT. Remaja Rosda karya.
Joe Khatena, 1992, Gifted : Challenge and Response for Education, Itasca : Peacock Publisher.
John F. Brubacher, 1947, A History of the Problems of Education, London : McGraw-hill book Company, Inc.
Louis O. Kattsoff, 1987 Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana,
Thomas Armstrong, 2000, Multiple Intelligences in the Classroom, Viginia : Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Catatan: 
Hakiki Mahfuzh adalah pengajar sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan juga penulis di berbagai jurnal dan majalah.
Artikel ini ditulis oleh Hakiki Mahfuzh dan diunduh dari re-searchengines.com


You Might Also Like

0 komentar