Filsafat Pendidikan Naturalisme Teori Implikasi dan Aplikasinya
FILSAFAT PENDIDIKAN NATURALISME
TEORI, IMPLIKASI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Abstract:
Students in our school have been
came from multicultural backgrounds, languages indeed capacities. These
diversities inform that every person is different and has many kind of
potential talents. By that reason known that, every different person needs different
education.
Different education needs different
philosophical thought, either in building its vision, mission, formulating its
aims, and in all its processes. It is important because education is concerned
with what man may become. So education has peculiar need of guidepost to direct
its activities. For this guidepost, it has to go to philosophy.
Naturalism is one of philosophical
thoughts in education that sees the education processes and nature must be in
harmony. It is important that all educational activities in accordance with the
growth and development of nature.
According to the Islamic educational
perspective, all creations in the universe can be tools of learning or learning
resources. From these creations the learners are able to take many examples,
lessons and hikmah biside these Allah's creations. These are many verses of the
holy Al-Qur'an ask all believes to observe the world and its contents in order
to understand their place between many other creations.
Key words : Naturalisme, Teori,
Implikasi, dan Aplikasi
A. Pengantar
Jhon S. Brubacher, seorang Professor
di bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat
dalam bukunya "A History of the Problems of Education" menyebutkan
bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dahulu kala telah memiliki
keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoalan-persoalan
filsafat.
Banyak hal yang menyebabkan
persoalan pendidikan memiliki keterikatan dengan filsafat. Salah satunya adalah
pendidikan selalu berusaha membentuk kepribadian manusia sebagai subyek
sekaligus obyek pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dihadapkan pada
perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang setelah pendidikan itu
berlangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya menjangkau
kawasan paling ideal dan baik seperti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun
2003), dewasa (Langevel), atau insan kamil (Atiyah al-Abrasy). Formulasi tujuan
pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam, sehingga tidak mungkin
dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal, tetapi
memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.
Selain persoalan tujuan, seluruh
aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis. Dari sini juga kemudian lahir
aliran-aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan. Salah satu di antara
beberapa aliran filsafat pendidikan tersebut adalah Naturalisme.
Apa saja pemikiran filsafat
Naturalisme di bidang pendidikan? Lantas Bagaimana mengpalikasikan pemikiran
filsafat Naturalisme tersebut dalam pendidikan Islam? Dua pertanyaan ini layak
dialamatkan kepada aliran filsafat pendidikan ini.
B. Percikan Pemikiran
Naturalisme
Aliran filsafat pendidikan
Naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan
Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami
perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang
sains. Ia berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge reported by
man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oleh tiga aliran besar
yaitu Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut Naturalisme
merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme merupakan
penganut Naturalisme. Imam Barnadib menyebutkan bahwa Realisme merupakan anak
dari Naturalisme. Oleh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan
dengan Naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh
dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.
Dimensi utama dan pertama dari
pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah
pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama
kali memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran
filsafat pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670).
Sebagai pendeta Protestan sekaligus
paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk
Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena
kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada
teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus
dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan
dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek.
Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar,
melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.
Dalam pendidikan dan pengajaran,
Comenius menggunakan hukum-hukum alam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan
teratur. Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut :
Segalanya berkembang dari alam
Perkembangan alam serba teratur,
tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara bertahap.
Alam, berkembang tidak tergesa-gesa
melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan persiapan.
Dalam bukunya yang berjudul
Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar,
"If we wish to find a remedy
for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it.
Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature."6)
Dalam proses pendidikan, seperti
pendahulunya Wolfgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam
bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih
baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada
pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru
perkembangan alam.
Alam berkembang dengan teratur dan
menurut aturan waktu tertentu. Tidak pernah terjadi dalam perkembangan alam,
seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses
perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi
kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu
bermula dari bunga.
Tidak pernah terjadi lompatan
tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya
didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabila pendidikan menganut aliran ini,
maka setiap proses pendidikan hendaknya mengikuti pola tadarruj (bertahap)
sesuai dengan perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan
secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai
dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.
Perkembangan yang tertjadi di alam
merupakan cermin bagi manusia untuk bertafakur dan bertadabbur. Tidak pernah
terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam
menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai
dengan potensi masing-masing.
Thomas Armstrong barangkali
merupakan pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi dengan baik pembelajaran
dengan cara bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own
Way : Discovering and Encouraging Your Child's Multiple Intelleigences Asmtrong
mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang inging
dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecil di dalam hutan. Sejak
awal para binatang besar bingung menentukan materi ajar terpenting yang akan
dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhirnya disepakati bahwa semua
binatang kecil harus mengikuti materi ajar yang diberlakukan, yaitu; berlari,
berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh
keceriaan dan menyenangkan.
Namun pada hari-hari berikutnya
persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi alamiyah dan jago
dalam berlari harus mengikuti materi pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci
tenggelam. Malu bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada
akhirnya Kelincipun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. Ia berusaha
sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari
secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya
terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.
Problem yang sama dialami juga oleh
binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung Elang yang jago terbang.
Ketika burung Elang mengikuti materi pelajaran menggali, ia tidak mampu
melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh binatang besar sebagai gurunya. Elang
pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus mengulang materi pelajaran
menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara
terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang
menonjol.
Semakin hari sekolah tersebut bukan
menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah
dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa
binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang
kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat
alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh
Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai
dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.
Dimensi kedua dari filsafat
pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan
bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra
merupakan inti dari metode belajar Naturalistik.
Baik Comenius maupun pendahulunya
Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman pemahaman tentang sesuatu.
Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke
pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah
itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut.
Sedang Comenius menasehatkan kepada
para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara bersama-sama.
(Thing and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan
ini Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar).
Naturalisme di bidang pendidikan
juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke (1632-1704) dalam buku
Essay Concerning Human Understanding. Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa
diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan
maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa
tanpa melalui indra.
Kesimpulan lebih lanjut dari
statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada
pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka
proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam
serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus
diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan,
misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran
menulis, demikian selanjutnya.
Ide-ide Locke tersebut berseberangan
dengan pandangan Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu lahir
dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar
dan salah, kemampuan-kemampuan logik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang
secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari
melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak
(peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian
melahirkan konsep Tabularasa atau Blanksheet dalam pendidikan.
Dimensi ketiga dari filsafat
pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan
kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti
mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan
cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita,
apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal
sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas
sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan
abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
J. H. Pastolozzi seorang paedagog
berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan
antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukum potensi
manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan
secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi
manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan
segi agama. Dengan demikian tujuan pendiddikan adalah memimpin anak menjadi
orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan
pada hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat
menolong dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah
"Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Selbsthilte).
Demensi terakhir dari percikan
pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques
Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat
berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang
anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta. Rousseau (1712 - 1778)
menghasilkan buku yang sangat monomental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku
ini terdiri atas lima jilid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran
utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan fikiran-fikirannya
tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan
jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun.
Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga
berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan
agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang pendidikan wanita dan
kesusilaan.
C. Implikasi Naturalisme di Bidang
Pendidikan
Fenomena menarik di bidang
pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan
alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembelajaran tidak lagi
dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi
lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di
dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi
peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana
"mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan materi
pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam buku Quantum Learning Bobbi De
Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan
langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman belajar
Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa
program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan
karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun
emosional.
Bobbi De Porter juga yang pertama
kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super
Camp. Ia menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan
bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di
alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi
menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan
Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out
put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super
Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat
jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.
Jika di dalam kelas subyektifitas
peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik
dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari
hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam
antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas
peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana
telah tercipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam
sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab
mereka secara langsung face to face berhadapan dengan sumber dan materi
pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di
dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka
mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum
bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak
terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana
menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para
siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan
apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara
belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.
Filsuf Confucius memperkenalkan
bahwa belajar akan lebih efektif manakala para siswa melihat, mendengar,
merasa, mengalami, dan memperaktikkan secara langsung apa yang mereka pelajari.
What I hear, I forget, What I see, I remember, and What I do, I understand,
tulis Confucius.
Saat ini konsep back to nature tidak
saja dikembangkan dalam pendidikan, tetapi juga dikembangkan dalam dunia
kedokteran. Orang mulai melirik obat-obatan yang disediakan oleh alam, karena
obat-obatan yang dihasilkan oleh dunia farmasi dan kini beredar terbukti
memiliki side effect yang lain bagi kesehatan manusia. Barangkali inilah salah
satu implikasi dari filsafat Naturalisme di luar bidang pendidikan saat ini.
D. Aplikasi Naturalisme dalam
Pendidikan Islam
Al-Qur'an berulang kali menyuruh
bertafakur dan bertadabbur mengambil hikmah dari penciptaan makhluk-makhluk
yang ada di jagad raya (universe) ini. Melalui tafakur dan tadabur terhadap
ciptaan Tuhan di jagad raya, manusia akan mengenal tempatnya dengan baik di antara
makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Pengenalan terhadap posisi manusia di antara
makhluk-makhluk-Nya ini yang oleh Muhammad Fadil al-Jammali dimasukkan sebagai
salah satu tujuan pendidikan dalam Islam.
Bertafakur dan bertadabbur terhadap
ciptaan Allah, memerlukan perangkat atau sarana yang tidak lain adalah akal dan
hati. Akal ini merupakan salah satu dari pemikiran Natulalistik sebagai sarana
yang harus dikembangkan. Seorang siswa akan lebih mudah memahami sesuatu objek,
jika sebelumnya siswa tersebut dilibatkan dalam kegiatan observasi terhadap
objek yang akan dipahami atau dipelajari. Observasi merupakan pengamatan dan
pencatatan secara langsung face to face terhadap sesuatu yang akan dipelajari.
Pemikiran filsafat pendidikan
Naturalisme di atas dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, yaitu dengan
cara memberikan keleluasaan kepada siswa mengobservasi dan mengeksploirasi
ciptaan Allah di alam semesta. Tunjukkan kepada siswa aneka ragam ciptaan yang
ada, termasuk manusia sebagai ciptaan dan sesudah itu guru memberikan
penjelasan yang lengkap sesuai dengan tingkat perkembangan para siswa, sehingga
mereka dapat merasakan secara nyata dan memahami dengan benar apa yang mereka
pelajari. Model belajar seperti inilah yang oleh pengikut filsafat pendidikan
Naturalisme dikategorikan sebagai kegiatan belajar melalui sense atau panca
indra.
Ada dua asal usul ilmu pengetahuan
yang diperoleh manusia, yaitu pengetahuan eksternal dan potensi bawaan.
Pengetahuan eksternal ialah pengetahuan yang sampai pada pemikiran atau akal
dari alam luar. Pengetahuan eksternal ini merupakan gambaran alam yang menembus
akal melalui panca indra (sense) dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan
ke¬jadian alamiah. Cara memperolehnya yaitu melalui panca indra dan akal.
Al-Qur'an mengemukakan secara jelas bahwa pengetahuan eksternal tidak akan
sam¬pai sebelum adanya kelahiran, seperti disebutkan dalam surah an Nahl (16)
ayat 78 sebagai berikut:
Artinya : Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal), agar kamu bersyukur.
Dalam perspektif Al-Qur'an, alam
diciptakan untuk manusia dan salah satu misi diciptakannya manusia adalah untuk
mengelola dan memakmurkan alam dengan sebaik-baiknya. Bagaimana mungkin manusia
dapat mengelola dan memakmurkannya tanpa mempelajari alam tersebut?
Tugas mengelola dan memakmurkan alam
merupakan bagian dari bentuk pengabdian manusia sebagai khalifah kepada
penciptanya. Agar dapat mengelola dan memakmurkan alam, manusia perlu mengalami
proses pendidikan, di mana alam telah menyediakan beragam fasilitas untuk
kepentingan pendidikan ini.
Apa saja yang disediakan alam dapat
difungsikan sebagai materi ajar atau sumber belajar sekaligus sebagai media
pembelajaran. Dalam surah Ali Imran (3) ayat 190 - 191 Allah berfirman:
Artinya : Sesungguhnya pada
penciptaan langit dan bumi dan perbedaan malam dan siang merupakan tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau sedang berbaring dan memikirkan penciptaan langit dan
bumi."
Langit, bumi, siang dan malam
disebut sebagai tanda-tanda atau ayat-ayatNya. Begitu juga apa saja yang ada di
alam merupakan tanda-tanda akan kekuasaan dan adanya Allah. Untuk mengenal
Allah sebagai pemilik alam, jalan yang paling dekat adalah dengan mempelajari
tanda-tanda Allah di alam tersebut.
Studi terhadap ciptaan Tuhan sebagai
ayat Kauniyah yang bertebaran di jagat raya, sama halnya dengan kewajiban
mempelajari ayat-ayat Qauliyah Tuhan, yaitu Al-Qur'an. Melalui kedua ayat
tersebut Allah mendidik manusia agar memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana
ilustrasi berikut:
Syekh Makarim al-Syirazi dalam
tafsir al-Amtsal ketika menafsirkan kalimat rabbul 'alamin mengatakan bahwa
rububiyatullah thariqun li ma'rifatillah. Salah satu jalan untuk mengenal Allah
adalah dengan memperhatikan (mempelajari) bagaimana Allah menciptakan dan
memelihara alam semesta.14) Allah mendidik manusia agar mempelajari bagaimana
Allah menciptakan dan memelihara makhluk-makhlukNya yang bertebaran di jagat
raya ini.
Studi terhadap makhluk-makhluk Allah
di jagat raya (universe) ini telah terbukti mampu melahirkan berbagai disiplin
ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Dalam konteks aliran filsafat pendidikan
Naturalisme, pengenalan siswa secara langsung terhadap alam dengan berbagai
bentuknya, akan melahirkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap obyek yang
dipelajari dibandingkan dengan membaca buku di dalam kelas.
Al-Qur'an melalui ayat-ayatnya
menyuruh manusia agar memperhatikan jagat raya ini beserta apa saja yang
dikandungnya. Perhatikan misalnya dalam surah-surah berikut:
Artinya : Katakanlah:
"Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah
menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali
lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Artinya : Maka apakah mereka tidak
melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan
menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?16)
Perintah seperti di atas diungkap
dalam Al-Qur'an melalui berbagai macam istilah agar manusia melakukan aktivitas
bertafakur dan bertadabur.
Tafakkara, berpikir, terdapat dalam
15 ayat lebih, antara lain dalam surah ar Rum (30) ayat 8, sebagai berikut:
artinya : Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?
Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan
sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan
dengan Tuhannya
Tadabbara, merenungkan, seperti
dalam surah Muhammad (47) ayat 24. Artinya : Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?
Nażara, melihat yang dalam Al-Qur'an
disebutkan lebih dari 30, antara lain adalah: Artinya : Maka apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (17) Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? (20)
Selain tiga ungkapan di atas, juga
terdapat beberapa istilah yang juga mengandung pengertian agar manusia
memperhatikan ciptaan Allah di jagat raya ini seperti faqiha, Tażakkara,
fahima, aqala, ulū al bāb, ulū al ΄ilmi, ulū al nuhā, dan ulū al abșār.
Pengenalan secara langsung terhadap
alam sebagai obyek studi seperti percikan pemikiran filsafat pendidikan
Naturalisme dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, karena secara sangat
jelas Al-Qur'an berulang kali menyuruh untuk itu.
Meskipun demikian harus diakui juga
bahwasanya mengandalkan kekuatan panca indra semata dalam pembelajaran, tidak
dibenarkan dalam pendidikan Islam, karena Al-Qur'an juga mementingkan
kecerdasan akal. Bahkan Al-Qur'an menggambarkan mereka yang mengagungkan panca
indra, tanpa menyertakan akal dalam memahami fenomena alam, bagaikan hewan.
Selain pengembangan akal dengan
observasi, dalam percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme, juga
terdapat sisi lain yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan Islam, yaitu
bahwa pendidikan itu bisa berasal dari alam, manusia dan barang.
Dalam Islam pendidikan juga dapat
berasal dari alam dan barang, yaitu dengan jalan bertafakkur dan bertadabbur
disamping juga dapat berasal dari manusia melalui proses pewarisan nilai dan
ilmu pengetahuan.
E. Kesimpulan
Empat percikan pemikiran filsafat
pendidikan Naturalisme, yaitu:
Pertama urgensi kesesuaian proses
pendidikan dengan tahap-tahap perkembangan alam.
Kedua belajar merupakan kegiatan
melalui indra.
Ketiga urgensi pemahaman akan
sesuatu melalui observasi di alam. Keempat pendidikan dapat bersal dari alam,
barang dan manusia.
Keempat percikan pemikiran tersebut
memiliki ekuivalensi dengan anjuran kitab suci Al-Qur'an kepada para pembacanya
untuk menyelidiki jagat raya sebagai ciptaan Tuhan.
Penyelidikan terhadap ciptaan
tersebut dapat mengantarkan kepada pengenalan Allah sebagai Yang Maha Pencipta.
Inilah makna dari rububiyatullah thariqun li ma'rifatillah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an al-Karim
Bobbi De Porter, Mike Hernacki,
Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa,
2000.
George R. Knight, 1982, Issues and
Alternatives in Educational Philosophy, Michigan : Andrew University Press.
Imam Barnadib, 1997, Filsafat Pendidikan,
Sistem dan Metode, Yogyakarta : Andi Offest
Jalaluddin Rakhmat, 2000, Meraih
Cinta Ilahi : Pencerahan Sufistik, Bandung : PT. Remaja Rosda karya.
Joe Khatena, 1992, Gifted :
Challenge and Response for Education, Itasca : Peacock Publisher.
John F. Brubacher, 1947, A History
of the Problems of Education, London : McGraw-hill book Company, Inc.
Louis O. Kattsoff, 1987 Pengantar
Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana,
Thomas Armstrong, 2000, Multiple
Intelligences in the Classroom, Viginia : Association for Supervision and
Curriculum Development (ASCD).
Catatan:
Hakiki Mahfuzh adalah pengajar
sekaligus Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan juga penulis di berbagai jurnal dan majalah.
Artikel ini ditulis oleh Hakiki
Mahfuzh dan diunduh dari re-searchengines.com
0 komentar