Filsafat Management Bisnis
Filsafat Management Bisnis
1.Filsafat dan Ilmu Manajemen
Konsep filsafat manajemen bisnis terkait dengan perkembangan ilmu manajemen.[1] Perkembangan
dunia sekarang ini mendorong beragam refleksi ilmiah, termasuk filsafat
dan manajemen, untuk terlibat dengan beragam persoalan dunia. Kita
hidup di dunia yang saling terkait satu sama lain. Ekonomi tidak bisa
dipisahkan dengan kebudayaan, politik, seni dan budaya sebuah
masyarakat. Perubahan pada satu bagian masyarakat akan mempengaruhi
bagian-bagian lainnya. Inilah yang disebut sebagai interdependensi,
yakni kesalingterkaitan dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Fakta ini juga mempengaruhi tingkat persaingan global antara berbagai
negara dan berbagai perusahaan di bidang ekonomi. Untuk bisa bertahan
dan berkembang di era persaingan global semacam ini, kita membutuhkan
cara berpikir dan penerapan tindakan yang tepat.[2] Di titik inilah filsafat manajemen bisnis memainkan peranan penting.
Persaingan global juga mengubah fokus dari ilmu manajemen menjadi
peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja perusahaan. Ini dianggap
sebagai cara terbaik untuk bertahan dan mengembangkan perusahaan di era
persaingan global sekarang ini. Di dalam wacana ilmu manajemen, ini
disebut juga sebagai manajemen kualitas menyeluruh, atau Total Quality Management.
Wacana ini menjadi paradigma dominan di dalam ilmu manajemen sekarang
ini. Bagian penting dari wacana ini adalah pembangunan tata nilai di
dalam perusahaan yang berjalan berbarengan dengan efektivitas dan
efisiensi kinerja perusahaan. Dengan kata lain, manajemen kualitas
menyeluruh melibatkan tiga hal sekaligus, yakni efisiensi, efektivitas
dan panduan nilai yang jelas di dalam segala bentuk aktivitas manajemen.
Dalam konteks ini, dua hal amat penting untuk diperhatikan, yakni
peningkatan kreativitas di dalam perusahaan untuk melahirkan beragam
penemuan baru yang bermakna, dan penguasaan jaringan informasi serta
teknologi yang memadai. Semua ini melibatkan sebuah cara berpikir yang
kritis dan menyeluruh yang hanya bisa ditawarkan oleh filsafat.[3]
Berbagai kemampuan ini dibutuhkan, karena perekonomian dunia terus
berkembang. Seluruh dunia kini terlibat dalam perdagangan dengan
intensitas yang luar biasa tinggi. Barang, jasa dan uang dipertukarkan
dalam jumlah raksasa setiap detiknya di berbagai belahan dunia. Anak
muda di kamarnya bisa dengan mudah membeli barang yang dijual dari
daerah lain di belahan dunia lainnya. Tingkat produksi dan konsumsi
global mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah manusia. Semua
perkembangan ini membawa sebuah kesadaran baru, bahwa dunia kita ini
terbatas. Sumber daya yang terkandung di dunia ini, yang menjadi bahan
dasar untuk produksi dan konsumsi, juga terbatas. Wacana di dalam ilmu
manajemen kini mulai membicarakan tanggung jawab ekologi, yakni tanggung
jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup secara keseluruhan.[4] Wacana
ini amat penting, terutama karena begitu banyak perusahaan yang
mengeruk sumber daya alam dan membuang limbah sembarangan, tanpa
memperhatikan kelestarian alam secara keseluruhan.
Banyak pakar manajemen yang kini menempatkan tanggung jawab sosial
sebagai inti utama dari bisnis. Dorongan mencari untung tidak boleh
melebihi tanggung jawab sosial yang selalu lahir dari setiap praktek
bisnis. Beberapa contoh konkret dari hal ini adalah kesetaraan gender di
dalam dunia kerja, pembatasan bonus dan upah untuk para pimpinan
perusahaan, transaksi yang melibatkan nilai-nilai moral yang jelas serta
kepedulian pada kelestarian ekosistem secara keseluruhan. Hal-hal ini
kini meresapi seluruh penelitian ilmu manajemen. Kegagalan perusahaan
untuk melibatkan diri secara aktif di dalam perwujudan hal-hal di atas
dianggap secara langsung sebagai kesalahan pihak manajemen perusahaan.
Ketika perusahaan dan praktek bisnis secara keseluruhan memperhatikan
hal ini, maka ini akan mempengaruhi terciptanya budaya perusahaan yang
baik untuk semua pihak. Budaya perusahaan ini akan meningkatkan kinerja
perusahaan dalam kaitan dengan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat
secara luas.[5]
Arti penting dari hadirnya budaya perusahaan ini semakin jelas,
karena kita hidup di dalam masyarakat yang semakin rumit dan dinamis.
Tata nilai mengalami perubahan begitu cepat, akibat perubahan masyarakat
yang juga amat cepat. Apa yang baik dan buruk tidak lagi sejelas di
masa lalu. Berbagai arahan nilai memberikan petunjuk dan pertimbangan di
antara berbagai keadaan yang ada. Ini tentu menciptakan kebingungan dan
ketidakpastian yang besar. Beban keputusan dan tanggung jawab yang
harus dibuat pun juga semakin besar. Pada beberapa kasus, ini
menciptakan beban yang berlebihan bagi para pimpinan bisnis.[6] Mereka
tidak mampu lagi mempertimbangkan semua hal yang ada di dalam membuat
keputusan. Akibatnya, kinerja mereka dan organisasi yang mereka pimpin
pun menurun. Pada titik ini jelas dibutuhkan suatu cara berpikir baru
yang berfokus pada jalan keluar yang menyeluruh. Cara berpikir baru ini
tidak hanya harus mempertimbangkan aspek-aspek langsung yang terkait
dengan bisnis, tetapi juga aspek-aspek lainnya di luar bisnis itu
sendiri, seperti persoalan-persoalan politik dan ekonomi yang ada di
dalam masyarakat luas.
Cara berpikir yang menyeluruh ini juga menjadi dasar dari sosok
manajer di abad 21 ini. Ia tidak hanya merupakan figur otoritas, tetapi
juga harus memberikan pendasaran yang masuk akal bagi otoritasnya
tersebut.[7] Dalam
konteks ini, ia sekaligus adalah figur dan teman bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Ia menyediakan arah bagi organisasi yang dipimpinnya dengan
menetapkan target pencapaian kerja, memimpin rapat dan koordinasi,
berhubungan dengan media massa, berhubungan dengan pemerintah, menjadi
perantara di antara berbagai bagian organisasi, meredakan konflik dan
sebagainya. Ia menekankan, apa yang menjadi fokus utama dan pendamping
di dalam organisasinya. Kepercayaan menjadi kata kunci disini. Segala
yang dilakukan seorang manajer akan menjadi percuma, jika ia tidak
mendapatkan kepercayaan dari orang-orang yang ia pimpin. Kepercayaan ini
bisa lahir, karena sang manajer menepati janjinya kepada orang-orang
yang dipimpinnya, dan juga karena ia mampu melihat keadaan organisasi
dari apa yang disebut sebagai metaperspektif, yakni melihat segalanya
dari kaca mata yang lebih luas. Metaperspektif ini berakar pada
kesadaran, bahwa tidak ada yang pasti di dalam hidup. Ada beragam
kemungkinan yang bisa timbul dari beragam keadaan. Untuk bisa membuat
keputusan yang tepat di tengah keadaan yang tidak pasti ini, seorang
manajer membutuhkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan ini adalah kemampuan
untuk melihat apa yang ada di balik dari berbagai gejala yang tampak di
depan mata. Dengan kata lain, ia bisa melihat akar dari semua keadaan
yang terjadi. Kemampuan berpikir kritis dan analitis yang dikembangkan
filsafat jelas amat berguna disini.
Dengan mempertimbangkan hal ini, maka filsafat manajemen bisnis jelas
merupakan aspek yang amat penting di dalam ilmu manajemen. Filsafat
manajemen bisnis tidak hanya membicarakan proses-proses manajerial,
seperti kecenderungan di dalam ilmu manajemen, tetapi juga cara berpikir
dan pandangan dunia yang mendorong orang untuk bertindak dan
berperilaku tertentu di dalam konteks bisnis. Filsafat manajemen bisnis
juga membuka ruang besar untuk melihat kaitan antara dunia bisnis dengan
bidang-bidang lainnya di kehidupan manusia secara kritis dan mendasar.
Filsafat manajemen bisnis juga dapat dilihat sebagai kajian lintas ilmu
yang tidak hanya mencoba memahami praktek-praktek bisnis yang telah
terjadi, tetapi juga menawarkan arah bagi perkembangan bisnis di
kemudian hari dalam kaitan dengan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Filsafat manajemen bisnis, menurut Fall Hecker, adalah puncak
perkembangan dari ilmu manajemen yang telah terjadi sejak 1960-an lalu
di Eropa dan Amerika Serikat. Bagan dari Hecker in kiranya bisa
membantu.[8]
Perkembangan Ilmu Manajemen | Era |
Spesialisasi di dalam fungsi manajerial | 1960-an |
Manajemen pemasaran | 1970-an |
Manajemen Stratejik | 1980-an |
Manajemen Proses dan Pembelajaran Organisasi | 1990-an |
Manajemen Nilai | 2000-an |
Manajemen dan Tanggung Jawab Sosial | 2010-an |
Filsafat Manajemen Bisnis | Dewasa ini. |
- Filsafat
Di dalam filsafat, kita mengenal setidaknya lima cabang umum.[9] Yang
paling mendasar adalah metafisika, yakni penyelidikan keseluruhan
kenyataan. Metafisika ini terkait dengan ontologi, yakni pemahaman
tentang “ada” yang menjadi dasar/hakekat dari segala sesuatu. Dua hal
ini dipandu dengan cabang ketiga dari filsafat, yakni logika. Logika
dapat dimengerti sebagai seni berpikir lurus dengan menarik kesimpulan
dari premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Dengan
pola pikir yang lurus ini, orang lalu bisa sampai pada
kebenaran-kebenaran yang bersifat kontekstual dan partikular. Cabang
keempat adalah etika, yakni kajian kritis atas pemahaman tentang baik
dan buruk yang ada di masyarakat. Etika mencangkup kajian kritis dan
rasional atas berbagai kemungkinan tindakan manusia di dalam
keadaan-keadaan tertentu. Cabang kelima adalah estetika, yakni pemahaman
tentang keindahan di dalam berbagai bentuknya, misalnya di dalam seni
dan alam. Cabang keenam adalah filsafat manusia, yakni pemahaman tentang
manusia dan kaitannya dengan dunianya. Filsafat, secara umum, hendak
memahami dunia manusia dengan menggunakan berbagai kajian yang kritis
dan rasional. Dalam arti ini, peran bahasa dan logika amatlah penting.
Bahasa tidak hanya dipahami sebagai alat komunikasi dan alat
menyampaikan ide semata, tetapi juga sebagai pengandaian dasar sekaligus
batas-batas dari tindak berpikir manusia. Dengan bahasa, manusia bisa
menciptakan dan memahami dunianya. Manusia juga bisa menjadi manusia,
karena bahasa yang ia gunakan. Salah satu prinsip dasar filsafat adalah
tindak berpikir. Dalam arti ini, pendapat Rene Descartes, filsuf Prancis
abad ke 16, kiranya perlu didengar, bahwa tindak berpikir adalah ciri
dari keberadaan manusia. Aku berpikir maka aku ada, demikian kata
Descartes. Ia sampai pada pemahaman ini, setelah meragukan segalanya,
dan sampai pada sesuatu yang tak bisa lagi diragukan, bahwa aku sedang
meragukan. Dan untuk bisa meragukan, manusia perlu berpikir. Maka,
tindak berpikir adalah tindak fundamental yang tak terbantahkan.
Cabang Filsafat | Definisi |
Metafisika | Kenyataan sebagai Keseluruhan |
Ontologi | Dasar atau hakekat kenyataan |
Logika | Seni berpikir lurus |
Etika | Kajian kritis tentang baik dan buruk |
Estetika | Kajian tentang keindahan di dalam seni dan alam |
Filsafat Manusia | Pemahaman menyeluruh dan mendasar tentang manusia dalam kaitan dengan dunianya. |
Sejak Descartes, tindak berpikir menjadi pusat dari filsafat Barat.[10] Cara
berpikir semacam ini lalu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern, seperti kita kenal sekarang ini. Namun, tindak berpikir semacam
ini harus dipandu juga dengan logika. Artinya, segala penarikan
kesimpulan dan pernyataan yang dibuat harus berpijak pada penalaran yang
runtut sekaligus bisa dibuktikan melalui pengalaman nyata. Dari sinilah
lahir metode penelitian ilmiah yang menggunakan bahasa-bahasa yang
akurat di dalam menyampaikan argumen. Namun, harus juga disadari, bahwa
bahasa bukanlah benda mati yang tak bisa berubah. Bahasa selalu bersifat
dinamis, bergerak dan berubah dalam kaitan dengan bidang-bidang lainnya
yang juga terus berubah. Selalu ada kemungkinan penafsiran lain dari
arti suatu kata atau kalimat. Bahasa adalah gabungan antara kebetulan
dan ketepatan di dalam tindak berpikir manusia.
Kemampuan untuk merumuskan bahasa sebagai alat untuk berpikir dan
berkomunikasi tampaknya merupakan ciri khas manusia, jika dibandingkan
dengan mahluk hidup lainnya. Sampai detik tulisan ini dibuat, belum ada
penelitian yang mendalam soal bahasa dan pikiran di dalam diri mahluk
hidup lainnya. Dengan bahasa dan pikirannya, manusia membangun dunia
yang berpijak pada pemahamannya. Seorang anak mengenal dunianya melalui
bahasa yang diajarkan kepadanya. Ia memberi nama pada segala yang ia
temui. Nama dan kata tersebut lalu menjadi bagian dari ekspresi
pikirannya. Dengan meluasnya pemahaman akan bahasa, maka bertambah luas
pula pengetahuan serta pemahaman seseorang. Filsafat sendiri terdiri
dari dua kata, yakni philo yang berarti pecinta, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Berpijak pada ini, maka filsafat dapat dipahami sebagai pencinta kebijaksanaan.[11] Kebijaksanaan
ini haruslah dipahami lebih dari sekedar kebijaksanaan yang berpijak
pada tradisi tertentu belaka yang biasanya dirumuskan dalam bentuk
moralitas, yakni pemahaman tradisional tentang baik dan buruk dalam
konteks tertentu.
Di dalam filsafat modern, kebijaksanaan dilihat sebagai kemampuan
untuk berpikir kritis, rasional dan sistematis untuk memahami segala
sesuatu.[12] Dalam
arti ini, filsafat perlu dibedakan dengan agama. Inti dari agama adalah
iman pada satu ajaran tertentu. Di dalam filsafat, inti utamanya adalah
penalaran kritis, rasional dan sistematis yang terus mengajukan mencari
dan mengajukan pertanyaan. Obyek penelitian filsafat adalah seluruh
kenyataan yang ada, tanpa batasan apapun. Filsafat juga bisa melakukan
refleksi atas konsep tuhan dan agama. Namun, metode yang digunakan
berbeda, dan ini tentunya juga menghasilkan pola refleksi yang berbeda
pula.
Refleksi filosofis juga memberikan sumbangan yang amat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.[13] Selama
ratusan tahun, filsafat menjadi satu-satunya bentuk ilmu pengetahuan.
Filsafat mencakup semua bentuk pengetahuan manusia yang mungkin tentang
dunianya. Sejak abad 18, pemisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
mulai terjadi. Ini dimulai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan alam
dan kemudian ilmu-ilmu manusia di Eropa. Dengan pemisahan ini, filsafat
pun juga mengembangkan cabangnya, mulai dari filsafat alam, filsafat
ilmu pengetahuan, filsafat budaya, filsafat ekonomi, filsafat sejarah,
filsafat hukum, filsafat politik, filsafat manajemen bisnis dan
sebagainya.
- Filsafat Manajemen Bisnis
Filsafat manajemen bisnis adalah bagian dari filsafat praktis.[14] Sejatinya,
filsafat praktis memiliki tiga bagian dasar, yakni ekonomi, politik dan
etika. Ketiganya terkait erat, dan harus dilihat sebagai satu kesatuan.
Adam Smith, yang banyak dikenal sebagai bapak ekonomi modern, pun masih
melihat kesatuan ini. Namun, sekarang ini, ekonomi dilihat sebagai
sesuatu yang mandiri, dan terlepas dari pertimbangan politis maupun
etis. Ilmu ekonomi berkembang menjadi sedemikian teknis dan mekanis.
Yang menjadi fokus adalah efisiensi, efektivitas dan kemampuan untuk
menghasilkan keuntungan finansial yang lebih besar lagi. Pertimbangan
politis dan etis tidak lagi diperhatikan.
Padahal, ekonomi adalah tindakan manusia yang tak bisa dipisahkan
dari pertimbangan etis dan politis. Tanpa tindakan manusia, ekonomi
tidak mungkin ada dan berjalan. Maka dari itu, sejatinya, pertimbangan
politik dan etis tidak bisa dihindari begitu saja di dalam ekonomi,
karena kehidupan manusia selalu dipenuhi dengan berbagai pertimbangan
politis maupun etis. Manajemen bisnis, sebagai bagian dari aktivitas
ekonomi, pun tidak pernah bisa dipisahkan dari pertimbangan politis dan
etis. Prinsip peraihan keuntungan semaksimal mungkin harus dipandu
dengan erat dengan prinsip-prinsip politis dan etis yang ada.[15]
Ilmu ekonomi dan ilmu manajemen bisnis pun harus juga memahami kaitan
antara nilai-nilai etis, pertimbangan politis dan keinginan untuk
mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang efektif dan efisien di
dalam berbagai penelitiannya. Dasar dari semua ini, sekali lagi, adalah
tindakan manusia. Perusahaan bisnis adalah sebuah organisasi yang
dikelola oleh manusia. Ia adalah suatu entitas sosial. Oleh karena itu,
ia juga merupakan bahan kajian dari filsafat sosial yang mencoba
memahami akar dan tata kelola yang tepat dari dunia sosial manusia.
Latar belakang pemikiran seseorang tentu mempengaruhi tindakannya di
dalam konteks manajemen bisnis. Ini juga terkait dengan pilihan bebasnya
yang ia buat di dalam konteks yang sama. Di titik ini, Hecker
merumuskan beberapa pertanyaan dasar yang menjadi bahan kajian dari
filsafat manajemen bisnis.[16]
Pertanyaan-pertanyaan Penelitian Filsafat Manajemen Bisnis |
Paradigma apa yang digunakan orang-orang yang bekerja di dalam suatu perusahaan? |
Prinsip-prinsip tata kelola dan kepemimpinan macam apa yang tepat di dalam suatu perusahaan? |
Tata kelola macam apa yang diperlukan, supaya perusahaan bisa bertahan di dalam persaingan? |
Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan, guna memastikan perkembangan perusahaan di dalam jangka pendek maupun jangka panjang? |
Hal-hal apa yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat luas? |
Bagaimana supaya kepentingan para pemilik perusahaan bisa terpenuhi? |
Bagaimana perusahaan mengelola bisnisnya dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam? |
Filsafat manajemen bisnis hendak menjawab beragam pertanyaan tersebut
secara kritis, rasional dan sistematis. Setiap perusahaan tentu
memiliki konteks yang berbeda yang perlu diperhatikan secara jeli.
Dalam arti ini, secara padat, filsafat manajemen bisnis dapat
dirumuskan sebagai sebuah refleksi yang kritis, rasional, mendasar dan
sistematis tentang cara berpikir, pola bertindak, serta dasar-dasar
nilai yang mempengaruhi tata kelola di dalam suatu perusahaan bisnis.
Filsafat manajemen bisnis tidak hanya ingin memahami, apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam tata kelola berbagai perusahaan bisnis
(deskriptif-faktual), tetapi juga ingin menawarkan arah bagi
perkembangan beragam perusahaan bisnis tersebut dalam kepentingan yang
lebih luas (normatif), yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan
pelestarian lingkungan. Arah tersebut kemudian menjadi roh dari sebuah
perusahaan yang harus terus diberdayakan, disebarkan dan dikembangkan di
dalam aktivitas sehari-hari perusahaan tersebut.[17]
Roh perusahaan tersebut berisi setidaknya enam aspek, yakni
nilai-nilai dasar perusahaan, kepemimpinan, efektivitas keputusan,
efisiensi kebijakan serta dampak yang diberikan kepada masyarakat luas
dan lingkungan hidup. Keenam hal ini tidak diterima begitu saja sebagai
ada, tetapi juga dikaji terus secara kritis, sehingga bisa selalu sesuai
dengan keadaan serta kebutuhan yang ada. Kajian kritis atas roh
perusahaan tersebut merupakan tugas utama dari filsafat manajemen
bisnis. Dalam arti ini, filsafat manajemen bisnis merupakan sebuah
refleksi menyeluruh (Gesamtheitsbesinnung) atas segala aspek
yang ada di dalam perusahaan. Ia tidak terjebak pada hal-hal khusus di
dalam pola manajerial, seperti ilmu manajemen lainnya. Ia menyediakan
pandangan yang lebih luas untuk memandu segala kebijakan perusahaan. Hal
ini amatlah penting di dalam dunia yang terkait erat satu sama lain
sekarang ini. Proses globalisasi yang terjadi di seluruh dunia membuat
semua kebijakan manajerial perusahaan harus memiliki pandangan yang
menyeluruh terkait bagian dalam maupun pola hubungan dengan dunia luar
dari perusahaan tersebut. Filsafat manajemen bisnis berkembang dalam
kaitan erat dengan keadaan politik, ekonomi makro dunia, keadaan sosial
masyarakat serta perkembangan-perkembangan terbaru di dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada.[18]
3.1 Manusia dan Filsafat
Praktek manajemen bisnis dan filsafat jelas tidak pernah bisa
dipisahkan dari hidup manusia. Immanuel Kant, filsuf Jerman, pernah
menyatakan, bahwa ada tiga pertanyaan mendasar di dalam filsafat dalam
kaitan dengan hidup manusia. Yang pertama adalah, apa yang dapat kita
ketahui? Kedua, apa yang harus kita lakukan? Dan ketiga, apa yang boleh
kita harapkan? Pertanyaan pertama terkait dengan pengetahuan manusia.
Apa yang kita ketahui mempengaruhi cara hidup dan cara bertindak kita di
dalam menyingkapi sesuatu. Pengetahuan kita juga membentuk dunia kita.[19] Pertanyaan
kedua terkait dengan tindakan manusia dan prinsip-prinsip yang
sebaiknya menjadi dasar dari tindakannya. Ini juga terkait dengan sikap
kita kepada orang lain. Pertanyaan ketiga terkait dengan pemahaman
manusia soal keindahan yang terdapat di alam dan seni hasil karya
manusia. Filsafat, menurut Kant, hendak memberikan jawaban yang kritis,
rasional dan sistematis terhadap ketiga pertanyaan tersebut dengan
sepenuhnya menggunakan akal budi manusia. Filsafat tidak mengacu pada
agama atau aliran kepercayaan apapun.
Tujuan dasar filsafat adalah memberi arah bagi hidup manusia, yakni
arah menuju kebijaksanaan yang kritis, rasional dan sistematis. Dalam
arti ini, tujuan utama filsafat adalah mengembangkan hidup manusia
semaksimal mungkin sesuai dengan kemungkinan yang ia miliki. Filsafat
manajemen bisnis juga dapat dilihat dalam arti ini, yakni sebagai upaya
untuk mengembangkan bisnis di dalam perusahaan semaksimal mungkin,
sesuai dengan potensi yang ia punya. Di titik ini, filsafat manajemen
bisnis adalah bagian yang amat penting di dalam kepemimpinan sebuah
perusahaan. Fokus kajian dari filsafat manajemen bisnis adalah hidup
manusia sebagai individual dalam kaitannya tindakannya di dalam konteks
perusahaan.[20] Oleh
karena itu, beragam pertimbangan etis, sosial, budaya, religius dan
biologis yang mendasari hidup manusia juga patut menjadi perhatian.
Beragam aspek di dalam diri manusia ini juga menjadi tema dasar dari
filsafat manajemen bisnis. Manusia memang adalah mahluk ekonomi. Namun,
itu hanya satu bagian dari beragam dimensi manusia lainnya. Semuanya
salilng bertaut erat, tanpa bisa dipisahkan satu sama lain.
Setiap pimpinan bisnis pasti harus berurusan dengan manusia-manusia
yang memiliki beragam dimensi ini. Setiap pegawai, pelanggan ataupun
partner perusahaan lainnya pasti memiliki beragam dimensi ini yang
mempengaruhi perilakunya sehari-hari, terutama di dalam soal pembuatan
keputusan. Manusia memang mahluk yang unik. Mereka memiliki satu
kemampuan yang amat unik, yakni kesadaran diri.[21] Mereka
sadar, bahwa mereka sadar. Mereka tidak hanya hidup, tetapi juga
memikirkan kehidupan. Mereka tidak hanya bekerja, tetapi berpikir soal
penyebab sekaligus dampak dari pekerjaannya. Mereka memikirkan hampir
semua hal. Mereka bertanya tentang alasan keberadaan mereka, atau tujuan
hidup mereka. Tentu saja, semua ini menarik untuk tema penelitian
ilmiah maupun filosofis. Namun, semua ini bisa menimbulkan kerasahan
mendasar di dalam hidup manusia yang berujung pada beragam penyakit,
baik fisik maupun psikologis, jika dibiarkan tanpa kendali.
Keberadaan manusia di dunia ini juga kerap menjadi obyek pemikiran.
Manusia bertanya tentang hubungannya dengan mahluk hidup lainnya, dan
juga dengan alam. Mereka juga kerap melihat dirinya sebagai pusat dari
alam. Segala hal yang ada bertujuan untuk menopang kehidupannya. Mereka
melihat dirinya juga sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Mereka tidak
merasa sekedar sebagai benda, melainkan sebagai seorang pribadi yang
luhur pada dirinya sendiri. Setiap pribadi adalah berharga, unik dan
tidak dapat ditukarkan dengan yang lain. Setiap manusia juga membutuhkan
manusia lainnya. Mereka saling mendukung untuk mengobati rasa kesepian
yang ada, dan untuk keperluan bertahan hidup. Dalam kebersamaan
tersebut, mereka membentuk keluarga, masyarakat dan negara.[22] Dalam
kebersamaan itu, mereka berkembang sebagai sebuah spesies, dan
membangun peradaban. Di dalam sela-sela kehidupan itu, selalu ada
tegangan antara “aku” dan “kamu”, antara “aku” dan kami, dan beragam
kategori-kategori buatan manusia lainnya.
Ketika “aku” terlalu menjadi fokus, maka orang menjadi egois. Ketika
“kita” terlalu ditekankan, maka orang akan jatuh ke dalam kolektivisme.
Kepentingan pribadi selalu dikorbankan demi kepentingan orang banyak. Di
antara dua dimensi ini, ada dimensi ketiga lainnya yang amat menentukan
hidup manusia, yakni kerinduan untuk mencapai yang lebih dari apa yang
sudah dimilikinya sekarang ini. Manusia selalu terdorong untnuk mencari
apa yang lebih dalam, lebih luas, dan lebih besar dari keadaannya
sekarang ini. Ia mencari makna dan tujuan yang lebih dari apa yang sudah
dimilikinya sekarang ini. Kerinduan ini menciptakan kecemasan dan
tegangan besar di dalam diri manusia, jika ia tidak mampu mengaturnya.
Di sisi lain, kerinduan ini juga merupakan tanda, bahwa hidup manusia
selalu ada dalam proses. Hidupnya adalah proyek yang tidak pernah
selesai. Hal ini membuka banyak kemungkinan untuk berbagai bentuk
perubahan.[23]
Kita bisa mengenal beragam perubahan yang terjadi ini, karena kita
hidup dalam ruang dan waktu. Perubahan mungkin, karena adanya ruang dan
waktu. Para filsuf dan ilmuwan telah lama berdiskusi tentang hakekat
dari ruang dan waktu. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah ruang dan
waktu itu sungguh ada sebagai sesuatu yang tetap di luar diri manusia,
atau lebih merupakan konsep hasil dari ciptaan pikiran manusia? Jika
diamati secara jeli, waktu dan ruang lebih merupakan hasil dari pikiran
kita. Waktu yang biasa kita pahami, yakni sebagai masa lalu, masa kini
dan masa depan, juga sebenarnya tidak ada. Masa lalu merupakan ingatan.
Masa depan merupakan harapan. Masa kini segera berlalu, ketika kita
menyebutnya sebagai masa kini. Ketiganya tidak ada sebagai kenyataan
yang tetap, tetapi lebih sebagai bagian dari kesadaran manusia. Dalam
arti ini, ada hal ketiga yang perlu dipertimbangkan, yakni kesadaran
manusia. Ruang dan waktu ada sejauh itu terkait dengan kesadaran
manusia.[24] Dengan
pemahaman ini, orang lalu bisa menata hidupnya sedemikian rupa, tanpa
dijajah oleh ruang dan waktu yang merupakan ciptaan dari kesadarannya.
Ini, pada hemat saya, merupakan hal penting di dalam kepemimpinan.
Dengan memahami ruang dan waktu dalam kaitan dengan kesadaran,
manusia membuka ruang untuk kebebasannya. Kebebasan ini nantinya juga
menjadi dasar bagi sikap kepemimpinan yang tepat, guna menyingkapi
berbagai keadaan yang terjadi. Ia menciptakan kemungkinan-kemungkinan
baru yang tidak melulu ditentukan oleh ruang dan waktu yang ada di
sekitarnya. Pemahaman ini juga telah melahirkan pemahaman modern tentang
dunia, bahwa manusia adalah subyek yang berhadapan dengan dunia sebagai
obyek. Kita tidak melihat diri kita sebagai bagian dari dunia, tetapi
sebagai sesuatu yang terpisah dan berjarak darinya. Pemahaman ini
berakar begitu dalam di cara berpikir modern. Hasilnya adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi yang mengabdi pada kepentingan manusia, tetapi
merusak kehidupan alam dan mahluk hidup lainnya.[25] Namun,
cara pandang ini kini telah banyak ditantang. Seluruh insting di dalam
diri kita sebagai manusia menyatakan, bahwa kita adalah bagian dari
dunia, dan dunia adalah bagian dari kita. Keterpisahan hanyalah ilusi
yang dihasilkan oleh kesalahan berpikir. Beragam tradisi agama, seni dan
filsafat dari berbagai penjuru dunia telah berulang kali menyatakan hal
ini. Kesadaran akan keterkaitan dari segala sesuatu di alam semesta ini
juga menjadi bagian penting di dalam praktek manajerial dan
kepemimpinan.
3.2 Filsafat dan Pikiran Manusia
Di dalam tradisi filsafat Timur, terutama Buddhisme, pikiran manusia berperan amat besar di dalam kehidupan.[26] Segala
yang ada di dunia ini, yang dapat dipahami manusia melalui konsep dan
teori, adalah hasil ciptaan dari pikiran manusia. Hidup kita dan sikap
kita di dalam menanggapi beragam hal yang terjadi juga merupakan hasil
dari cara berpikir kita. Segala perubahan di tingkat sosial hanya
mungkin, jika manusia pertama-tama mengubah cara berpikirnya. Segala
rencana bisa terwujud, jika manusia memiliki motivasi dan komitmen kuat
untuk mewujudkan cita-cita hidupnya. Pendapat ini tidak hanya kental di
dalam filsafat Timur, tetapi juga di dalam tradisi filsafat Stoa di masa
Yunani Kuno, terutama di dalam pemikiran Marcus Aurelius, Kaisar Roma
pada tahun 121 sampai 180.
Marcus Aurelius juga menekankan pentingnya penguasaan diri di dalam hidup.[27] Emosi
dan pikiran kerap kali membuat orang bingung. Kebingungan ini
melahirkan ketegangan dan penderitaan di dalam diri. Orang yang hidupnya
dipenuhi penderitaan akan membuat orang lain menderita. Inilah sumber
dari beragam masalah yang muncul di dunia, mulai dari krisis ekonomi
sampai dengan perang berkepanjangan. Penguasaan diri ini berarti orang
mampu melihat emosi dan pikirannya sebagai sesuatu yang berbeda darinya.
Orang tidak menyamakan dirinya begitu saja dengan beragam emosi dan
pikiran yang muncul di kepalanya. Untuk bisa melakukan ini, orang perlu
menjadi pengamat dari segala sesuatu yang muncul di dalam maupun di luar
dirinya. Kemampuan mengamati ini adalah sumber dari segala
kebijaksanaan. Hanya dengan begini, manusia bisa menjadi tuan atas
pikirannya. Ia lalu bisa menggunakan pikirannya secara maksimal untuk
menciptakan atau mengubah sesuatu, tergantung beragam keadaan yang
sedang terjadi. Kemampuan untuk mengamati dan menjaga jarak dari beragam
emosi dan pikiran yang muncul akan melahirkan kejernihan. Kejernihan
semacam ini akan menjadi dasar bagi pikiran-pikiran yang kritis yang
penting untuk perkembangan hidup manusia.
Pengetahuan manusia akan dunia juga dihasilkan oleh pikirannya. Tema
ini menjadi kajian utama para filsuf Barat, mulai dari masa Yunani Kuno
sampai sekarang ini. Di masa Yunani kuno, Sokrates menegaskan, bahwa
pikiran rasional adalah jalan untuk menuju kebenaran dan kebijaksanaan.
Terkenal juga perdebatannya dengan kaum Sofis. Keduanya masih
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat sampai saat ini,
juga di dalam perkembangan ilmu manajemen bisnis. Keduanya melihat
kebenaran sebagai proses pencarian yang dilakukan dengan menggunakan
pikiran manusia. Sokrates menekankan pemikiran rasional dan
langkah-langkah penarikan kesimpulan yang sistematik. Kaum Sofis
menekankan seni merangkai argumen dan berbicara meyakinkan di depan
umum, guna meyakinkan orang lain. Satu metode penting yang dikembangkan
Sokrates adalah metode bidan, yakni membantu orang menemukan jalannya
sendiri dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang
pikirannya.[28] Sampai
sekarang, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang kritis dan mengubah cara pandang
yang sudah ada.
Plato adalah murid Sokrates yang mengembangkan pandangannya sendiri
terkait dengan kemampuan berpikir kritis manusia. Ia menulis sebuah
cerita kecil tentang orang-orang yang hidup di dalam gua. Intinya adalah
bahwa dunia yang kita lihat sehari-hari sebenarnya hanya merupakan
bayangan dari kenyataan yang sesungguhnya.[29] Dengan
akal budinya, manusia bisa mempertanyakan bayangan-bayangan ini, dan
sampai pada kenyataan yang sesungguhnya. Namun, kenyataan yang
sesungguhnya ini melampaui kemampuan berpikir manusia. Dengan kata lain,
pikiran manusia tidak pernah akan mampu untuk mencapai pengetahuan ini
seutuhnya. Selalu ada jarak antara apa yang dapat diketahui pikiran
manusia, dan kebenaran atau kenyataan sebagaimana adanya. Hanya orang
naif yang dipenuhi kebodohan serta kesombongan yang merasa, bahwa apa
yang ia tangkap dengan panca indera dan pikirannya adalah kebenaran yang
sejati. Plato mengajak kita untuk mempertanyakan apa yang kita tahu,
karena itu sejatinya hanya merupakan bayangan-bayangan semata yang terus
berubah. Ia mengajak kita untuk memahami hakekat dari segala sesuatu,
atau apa yang disebutnya sebagai Eidos dari hal-hal yang bisa kita cerap dan pahami.
Di dalam filsafat Plato, Eidos, atau ide, adalah bentuk ideal dari hal-hal yang ada di dunia.[30] Ia
adalah semacam cetak biru dari segala sesuatu yang ada di dunia.
Aristoteles, yang adalah murid Plato, melanjutkan cara berpikir semacam
ini. Baginya, ide suatu benda tidaklah terletak di luar benda itu,
tetapi di dalam bentuk, atau forma, dari benda itu sendiri. Ia juga
nantinya mengembangkan logika sebagai hukum berpikir lurus di dalam
penarikan kesimpulan. Ini menjadi dasar bagi perkembangan filsafat
maupun ilmu pengetahuan, sebagaimana kita kenal sekarang ini. Di dalam
logika, orang bisa menarik kesimpulan dari data-data yang ada, sehingga
ia bisa sampai pada kesimpulan umum yang kurang lebih berlaku untuk
semua. Sebaliknya, dengan logika, orang juga bisa memahami data-data
partikular dengan berpijak pada kesimpulan umum yang sudah ada
sebelumnya. Yang pertama disebut sebagai logika induksi, yakni dari yang
partikular menuju yang umum. Yang kedua disebut sebagai logika deduksi,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang
khusus, atau partikular.
Logika deduksi dan induksi menjadi alat berpikir yang amat berguna
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 15 dan 16.[31] Salah
satu filsuf yang berpengaruh pada masa ini adalah John Locke. Ia
menekankan pentingnya pengalaman inderawi di dalam proses pembentukan
pengetahuan manusia. Manusia lahir di dunia tidak dengan ide di
kepalanya. Ia bagaikan kertas putih yang siap diisi dengan berbagai hal
dari pengalamannya di dunia. Inilah yang disebut tabula rasa di dalam
filsafat Locke. Dari pengalaman inderawinya bersentuhan dengan dunia
inilah manusia lalu mempunyai ide di dalam dirinya tentang dunia. Secara
alamiah, pikiran manusia memiliki kemampuan untuk mengolah beragam
macam informasi menjadi semacam bentuk pengetahuan. Hal ini terjadi
melalui proses abstraksi, pembandingan maupun penarikan kesimpulan dari
beragam data yang terpisah. Pikiran yang digabungkan dengan pengalaman
inderawi akan melahirkan konsep dan pengetahuan. Namun, pengetahuan kita
sifatnya selalu terbatas.[32] Kita
tidak pernah bisa mengetahui segalanya. Kita juga tidak akan pernah
bisa memahami kebenaran yang sejati pada dirinya sendiri dengan pikiran
kita.
3.3 Pikiran dan Kenyataan
Setiap pikiran selalu merupakan sebuah kemungkinan. Ia adalah
benih-benih kenyataan. Pikiran akan mendorong sikap dan tindakan.
Keduanya lalu akan melahirkan kenyataan. Ini adalah gerak hukum sebab
akibat yang menjadi hukum dasar dari kenyataan. Ketika sebuah pikiran
berkembang di dalam diri manusia, ia akan secara otomatis mengubah hidup
dan kebiasaannya sesuai dengan pikiran tersebut. Maka amatlah penting
bagi manusia untuk menyadari isi dari pikirannya dari saat ke saat.
Ketika kesadaran ini hilang, maka pikirannya akan berjalan otomatis,
tanpa kontrol. Kenyataan hidupnya pun lalu lepas dari pegangannya
sendiri. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam hidup seseorang juga amat
tergantung dari pikiran macam apa yang dipelihara dan disadarinya dari
saat ke saat di dalam hidupnya.
Di dalam wacana filsafat manajemen bisnis, cara berpikir manusia di
dalam menanggapi keadaan dibagi menjadi dua, yakni optimis dan pesimis.[33] Cara
berpikir optimis mencoba melihat peluang dari beragam tantangan yang
ada. Sementara, cara berpikir pesimis melihat kesulitan dari segala
peristiwa yang terjadi. Orang-orang optimis sering dicap sebagai
pemimpi. Mereka tak memiliki pijakan di kenyataan. Namun, kenyataan yang
ada diciptakan oleh pikiran kita. Orang-orang optimis sering berusaha
mengubah kenyataan sesuai dengan pikirannya. Mereka membawa perubahan ke
dunia. Ini tentu memiliki sisi baik sekaligus sisi buruk. Sementara,
orang pesimis cenderung untuk merasa kalah di hadapan segala perubahan
dan tantangan yang ada. Ada nuansa pasrah dan melepas di dalam sikap
hidupnya. Tegangan antara keduanya, yakni sikap pesimis dan optimis,
tentu perlu untuk dicermati lebih dalam.
Orang optimis melihat peristiwa jelek sebagai sesuatu yang sementara.
Dengan usaha yang cukup dan motivasi yang kuat, peristiwa tersebut akan
segera berlalu. Sebaliknya, orang pesimis melihat peristiwa baik
sebagai sesuatu yang sementara. Ia lalu mempersiapkan diri untuk krisis
yang akan datang berikutnya. Sayangnya, media massa lebih menyukai
berita jelek daripada berita baik. Berita jelek dianggap lebih menjual.
Mereka lalu menyajikan berita yang tidak seimbang kepada masyarakat.
Akibatnya, masyarakat mengira, bahwa peristiwa jelek jauh lebih banyak
daripada peristiwa baik. Banyak orang berubah menjadi pesimis, akibat
berita-berita yang tidak seimbang ini. Pada titik ini, kita tentu perlu
menggunakan kemampuan berpikir kritis kita, sehingga tidak jatuh ke
dalam sikap pesimis semacam ini. Orang yang pesimis berlebihan akan
jatuh ke dalam depresi. Ia tidak bisa menjalankan hidupnya dengan baik.
Sebaliknya, orang yang optimis berlebihan akan jatuh pada sikap naif. Ia
akan terus tersandung pada masalah yang sama, tanpa pernah bisa belajar
darinya. Menjaga keseimbangan antara sikap optimis dan sikap pesimis
secara sehat menjadi kunci bagi kepemimpinan yang baik.[34] Keseimbangan ini akan menciptakan pribadi yang kritis dan realistis.
Orang yang kritis dan realistis cenderung melihat segala sesuatu
secara lebih mendalam. Mereka tidak terjebak oleh penampilan permukaan
yang memang kerap kali menipu. Mereka juga mampu bekerja sama dengan
orang lain, tanpa ikut arus begitu saja. Mereka bisa melakukan kritik,
tanpa menyakiti orang lain. Secara umum, mereka lebih mampu menyesuaikan
diri dengan segala perubahan yang ada. Dengan kemampuan ini, mereka
lalu lebih bisa mewujudkan hidup yang bermutu. Semuanya berawal dari
cara berpikir yang tepat di dalam melihat dunia.[35] Cara
berpikir yang dilatih dan digunakan secara rutin akan berubah menjadi
prinsip hidup. Prinsip hidup yang secara konsisten diterapkan akan
menciptakan sudut pandang yang menetap di dalam diri. Sudut pandang ini
lalu akan membimbing semua tindakan yang dilakukan. Pada akhirnya, ia
akan menetap menjadi kepribadian, atau karakter.
3.4 Berpikir Kritis
Di dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, kebenaran didekati melalui
proses berpikir rasional. Di dalam proses berpikir ini, beragam pendapat
diuji dengan akal sehat dan pembuktian nyata. Kerja sama dengan orang
lain dalam bentuk dialog dan diskusi memainkan peranan penting. Di dalam
semua proses ini, kemampuan berpikir kritis amat diperlukan. Berpikir
kritis berarti mengajukan pertanyaan secara rasional dan sistematis atas
segala pendapat yang telah ada sebelumnya. Dalam hal ini, orang juga
dituntut untuk melihat hal-hal lama secara baru. Dengan kata lain, orang
diminta untuk berpikir secara kreatif. Semua penemuan, mulai dari
pesawat terbang, mobil, kereta api dan obat-obatan, muncul dari cara
berpikir kritis ini. Para penemu adalah orang-orang yang mempertanyakan
pola pikir yang berkembang pada jamannya, dan menawarkan cara pandang
yang lain. Dalam arti ini, kreativitas bukan hanya berarti orang mencoba
mempertanyakan pendapat orang lain, tetapi juga ia mempertanyakan sudut
pandangnya sendiri. Setiap orang memiliki pola berpikir yang terbentuk
dari latar belakangnya, seperti hubungan dengan orang tua, proses
pendidikan di sekolah, informasi serta pengetahuan yang ia peroleh dan
pergaulan umumnya di masyarakat. Ini juga disebut sebagai skemata
berpikir. Berpikir kritis dan kreatif berarti mencoba untuk keluar dari
skemata semacam ini, dan mengajukan sudut pandang baru.[36]
Skemata ini aktif, misalnya, ketika kita mendengar satu kata: hitam.
Kata itu langsung membuat kita berpikir tentang hal-hal yang terkait
dengan warna hitam di dalam hidup kita, misalnya ban mobil, baju hitam,
rambut hitam, warna langit di malam hari dan sebagainya. Pikiran kita
bagaikan jaringan yang berisi beragam arti kata hitam. Jaringan tersebut
bereaksi, ketika kita mendengar kata hitam. Hal ini juga berlaku untuk
berbagai contoh lainnya. Kita berpikir selalu dalam jaringan yang
memiliki pola tertentu di dalam diri kita. Semua informasi baru yang
kita terima selalu diolah dengan berpijak pada skemata, atau jaringan
terpola, yang sudah ada sebelumnya.[37] Proses
perbandingan selalu terjadi, ketika kita mendengar hal-hal baru.
Jaringan yang terpola ini menciptakan hal-hal yang familiar di dalam
diri kita. Kita menjadi terbiasa dengan pola berpikir tertentu. Jika ini
dibiarkan, kita menjadi amat nyaman dengan pola pikir kita, dan sulit
untuk berpikir kreatif. Kita menjadi sulit untuk menemukan sudut pandang
baru. Untuk bisa berpikir kreatif, kita perlu meninggalkan pola
berpikir kita yang lama. Kita perlu meninggalkan zona nyaman dalam hidup
kita. Kemampuan ini amat penting, supaya kita bisa menghadapi beragam
tantangan hidup yang muncul, yang sejatinya terus berubah setiap saat.
Untuk bisa memahami cara kerja pikiran kita, dan kemudian menemukan
cara untuk berpikir secara baru, kita perlu juga sedikit memahami salah
satu organ biologis terpenting di dalam diri kita, yakni otak. Otak
manusia memiliki milyaran jaringan saraf. Namun, hanya sebagian yang
sungguh digunakan dalam hidup sehari-hari. Beragam penelitian di bidang
neurosains, atau ilmu saraf, menegaskan, bahwa otak manusia memiliki dua
bagian, yakni otak kiri dan otak kanan. Bagian otak kiri memiliki peran
menggerakkan tubuh bagian kanan. Ia juga memungkinkan manusia berpikir
secara analitis, sistematis dan masuk akal. Bagian otak kanan
menggerakan tubuh bagian kiri, dan mumungkinkan manusia untuk merasa dan
menyatakan perasaannya melalui karya. Emosi dan intuisi manusia
dimungkinkan, karena bagian otak kanan ini. Pembagian ini dirumuskan
oleh seoran ilmuwan saraf yang bernama Roger Perry.
Pembagian otak kiri dan otak kanan ini lalu banyak ditanggapi secara
kritis. Salah satunya dari penelitian yang dibuat oleh Ned Herrmann.
Baginya, otak manusia terdiri dari bagian atas dan bawah. Bagian atas
terdiri dari bagian kortikal dan selebral. Sementara, bagian bawah
terdiri dari bagian limbik. Bagian limbik berada di pusat otak dan
memungkinkan manusia untuk merasa. Ia juga memungkinkan orang untuk
mengambil sudut pandang orang lainnya, dan melihat dari sudut pandang
lain. Kemampuan berpikir rasional dan analitis dimungkinkan oleh bagian
atas otak manusia. Herrmann kemudian menjelaskan lebih detil kedua
pembagian tersebut ke empat area otak manusia.[38]
Bagian Otak | Kemampuan | Profesi yang cocok |
Kuadran A | Analisis, logis teknis, matematis, konseptual | Insinyur, ilmuwan, banker |
Kuadran B | Organisasional, struktur, administrator, konservatif, terkontrol, terencana | Akuntan, manajer |
Kuadran C | Sensitif secara emosional, musikalis, spiritual, terampil dengan bahasa, kemampuan sosial tinggi | Guru, pekerja rumah sakit, pekerja sosial |
Kuadran D | Berpikir menyeluruh, berbakat seni, peka pada detil, konsepsional. | Wirausahawan, penulis, seniman |
Setiap bagian memiliki kemampuannya masing-masing. Orang yang bagian
atas otaknya lebih berkembang cenderung memiliki kemampuan untuk
berpikir analitis, logis, teknis, matematis dan konseptual. Mereka juga
cenderung untuk mampu berpikir secara terstruktur, terkontrol dan
terencana. Beragam profesi yang cocok dengan pola pikir semacam ini
adalah ilmuwan, banker, insinyur dan manajer. Sementara itu, orang yang
bagian bawah otaknya, yakni bagian limbik, lebih berkembang cenderung
untuk mampu merasa secara emosional, berbakat bermain musik, spiritual,
berpikir menyeluruh serta terampil dengan bahasa. Mereka amat cocok
untuk bekerja sebagai pekerja sosial, guru, pekerja di rumah sakit,
wirausahawan, penulis dan seniman. Pandangan Herrmann tentang empat area
otak manusia ini banyak diacu. Namun, pandangan ini juga perlu
ditanggapi secara kritis. Otak manusia tidak pernah bekerja secara
sendirian. Ia merupakan bagian dari sebuah sistem biologis yang disebut
sebagai tubuh manusia.[39] Tubuh
manusia juga tidak pernah berdiri sendiri. Ia juga merupakan bagian
dari sistem lainnya yang lebih besar, yakni lingkungan alam dan
lingkungan sosial. Kesalingterkaitan ini tidak pernah boleh dilupakan.
4.Kesimpulan
Filsafat manajemen bisnis adalah sebuah kajian yang bersifat
reflektif, kritis, rasional dan sistematis tentang cara berpikir serta
nilai-nilai yang mendasari tata kelola sebuah perusahaan ataupun
organisasi bisnis lainnya. Filsafat manajemen bisnis bergerak di dua
tingkat, yakni mengamati apa yang terjadi di dalam beragam praktek
manajemen bisnis sekarang ini (deskriptif-faktual) dan memberikan arah
untuk pengembangan tata kelola tersebut berdasarkan pada kesadaran yang
bersifat menyeluruh (normatif-prinsipiil). Dalam konteks ini, yang amat
ditekankan adalah pengaruh cara berpikir manusia yang bermuara pada
lahirnya tindakan dan kebiasaan di dalam tata kelola perusahaan bisnis.
Karena juga banyak berbicara soal pikiran dan cara berpikir manusia,
filsafat manajemen bisnis juga perlu belajar dari perkembangan terbaru
di dalam penelitian otak dan neurosains. Sikap kritis dan reflektif
menjadi bagian utama di dalam penelitian-penelitian filsafat manajemen
bisnis.
0 komentar